Si Kurator Sinting dan Kiarakuma

GarasiOpa_FotoToko_06-490x347

Credit pict; here

Last edited: 19/11/2015

Iya, sesuatu itu adalah Kiarakuma, dan rupanya si kurator sinting itu tahu benar apa yang sedang kurasa dan kuinginkan.

.

Kiarakuma. Namanya bagus, kan? Aku tak ingat kapan menamainya begitu. Sekonyong-konyong nama itu menetes dari bibir ketika sosoknya didekap erat oleh sepasang mataku. Saat pertama kali menemukannya, dia sedang berdiri di samping piano tua. Tubuh cokelat gelapnya yang indah terbungkus kain usang berwarna merah dengan corak bunga tulip yang menyakitkan mata. Wajahnya tampak polos, tapi seksi.

“Kau menyukainya?” Kala itu seorang teman bertanya padaku sambil tersenyum penuh maksud. Sejurus aku terdiam dan gelagatku yang salah tingkah telah menjadi jawaban mutlak atas pertanyaan konyol itu. “Bawa pulang saja, biar kalian sama-sama senang,” katanya sebelum tertawa keras sekali.

“Sama-sama senang bagaimana?” tanyaku agak malu, tapi temanku malah melengang pergi sambil menghisap cerutu.

Temanku yang itu memang tak suka banyak bicara, entah karena malas atau memang tak berminat menghambur-hamburkan kosakata. Yang jelas, dalam diamnya dia menjelma menjadi pemerhati yang hebat. Entah harus senang atau marah saat tahu kalau dia juga sering ‘memperhatikanku’.

Tapi kalau dipikir-pikir, untuk apa aku marah? Toh pada akhirnya dia tidak menghakimiku.

Aku ingat, pada suatu malam dia pernah datang ke rumah sambil membawa tiga botol besar bir hitam. Begitu kubukakan pintu, dia cekikikan sambil bertanya, “Bagaimana? Asyik, kan, dia?” Kujawab saja apa adanya; ya, Kiarakuma adalah makhluk paling asyik yang pernah kutahu. Aku suka dia dari atas sampai bawah dan dari luar sampai dalam.

Setelah berbasa-basi sebentar di ambang pintu, kami pun bergerak menuju teras belakang untuk duduk-duduk sambil minum bir. Malam itu dia bercerita tentang bisnisnya yang sedang oke, istrinya yang selingkuh, dan juga anak perempuannya yang ‘dibawa kabur’ oleh juragan minyak. Ah, tentu saja bercerita di sini adalah bercerita a la dia; tak perlu lah prolog atau apa, tahu-tahu konflik ceritanya ia muntahkan, lalu dengan dinginnya dia akan bilang, “Aku tak tahu, sebenarnya ini masalah atau lelucon?” Ya, katanya sejak dulu dia selalu kesulitan untuk membedakan mana masalah dan mana lelucon. Parah sekali hidupnya.

“Apa kau punya rencana untuk merajut kisah cinta sungguhan?”

Pertanyaan yang dilontarkan pria itu selalu saja membuatku seperti tengah dicium Medusa. Aku tak mengerti, dia itu punya indera keenam atau apa. Aku selalu merasa tertangkap basah setiap kali ditanyai ini dan itu olehnya. Agak mengerikan dan… aku tak habis pikir juga kenapa dulu mau berkenalan dengannya.

Sejenak kuseret ingatkanku sedikit ke belakang dan—oh!—aku mengenalnya setahun lalu ketika menghadiri sebuah pameran seni di Jogja. Kebetulan dia menjadi kurator di sana dan entah kenapa kata sinting langsung menggantung di depan wajah saat pertama kali melihatnya. Padahal secara visual dia itu relatif normal, saat pertama kali berbincang pun kurasa dia cukup waras. Kesintingan yang kumaksud menguar  saat dia membisikkan sesuatu ke telinga kiriku. “Lihat, deh, yang di pojok itu. Seksi banget, kan?” Aku terdiam karena terlalu sibuk menganalisa makna di balik ucapannya. Tapi yang pasti, ada satu hal yang kuyakini; dia-sedang-serius. Terbukti, karena beberapa detik setelah mengumandangkan pernyataan eksentrik itu ekspresinya menjadi—sudahlah—mungkin hanya kami pria saja yang paham.

Oh, kembali ke cerita.

Setelah terpekur beberapa saat, aku pun menjawab, “Tidak tahu, mungkin punya. Memangnya kenapa?”

Dia bengong sebelum meneguk birnya dengan perlahan. Ekspresi wajahnya seperti koboi yang mampir ke bar untuk meratapi nasibnya yang baru saja kalah judi, sangat konyol. “Tidak usahlah, rasanya tidak enak.” Dia menatapku. “Puasnya tidak sampai sini,” bisiknya sambil menunjuk dada. Hah, sok melankolis.

Omong-omong, apa aku sudah bilang kalau gap umur kami lumayan jauh? Ya, tujuh belas tahun. Januari kemarin dia baru ulang tahun yang ke empat puluh dua, sedangkan September nanti usiaku baru menginjak dua puluh lima. Senang rasanya saat tahu kalau dia tinggal di Bandung juga, plus punya toko barang antik di daerah Hegarmanah yang biasa dikunjungi oleh anak-anak muda yang sok mengerti estetika seperti aku. Tempat itu seperti surga. Aku bisa ‘senang’ tanpa harus bersenggama dengan siapa atau—ya, mungkin—apa.

“Aku sudah muak padamu, sumpah!”

Sore itu aku iseng memenuhi undangannya yang ke sekian kali untuk datang ke toko. “Ada barang baru,” katanya. Aku senang, tapi kesenanganku sedikit terganggu oleh sebuah pertengkaran. Ya, dia bertengkar dengan wanita bule yang tak lain dan tak bukan adalah istrinya. Meski sedang berteriak-teriak seperti orang kesetanan menurutku dia tetap lumayan cantik. Sekilas, sih, mirip Felicity Jones. Tapi—ya—sepertinya hal itu tak berpengaruh sama sekali karena cara pria itu menatapnya tak beda jauh dengan ketika dia menatap tumpukan sampah.

“Umurmu berapa?”

Tiba-tiba dia datang menghampiri aku yang sedang mengelus permukaan koper yang terasa halus—begitu menggetarkan. “Menuju dua puluh lima.”

“Sudah tidur dengan perempuan berapa kali?”

Hah, dasar gila. Kenal saja belum lama tapi pertanyaannya sudah membuatku panas-dingin. “Belum pernah,” jawabku sambil mengipas-ngipaskan tangan ke depan wajah, aku tak suka asap tembakau.

“Apa kau menyukai laki-laki?” Aku menggeleng; dia merengut. “Makhluk hidup memang merepotkan. Tidak apa-apa, aku mengerti, kok.”

“Ya, terima kasih,” kataku acuh tak acuh.

“Mmm, kau ‘naksir’ koper itu, ya?” tanyanya santai, seketika mataku pun melebar.  “Jangan dia, dia itu gampang berkhianat. Yang lain saja, lagipula aku tak menangkap sinyal bahwa kalian berjodoh,” lanjutnya.

Sumpah mati aku terkejut; tahu benar jika pernyataannya bukanlah pernyataan biasa. Kepalaku mendadak sakit, rasanya seperti baru ditimpuk Burj Khalifa. Refleks aku meninggalkannya, berjalan dengan buru-buru menuju ruang depan di mana di sana terdapat alat musik dan guci-guci tua.

“Hei, Anak Muda. Cerutu ini enak, mau coba?”

Sialan. Saat itu aku bahkan tak sadar kalau dia mengekor di belakang. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi, tapi karena ada sesuatu yang menyita perhatianku secara besar-besaran maka aku menunda kepergianku sedikt lebih lama. Iya, sesuatu itu adalah Kiarakuma, dan rupanya si kurator sinting itu tahu benar apa yang sedang kurasa dan kuinginkan.

“Kau menyukainya?”

Uh, ya Tuhan, tepat sasaran.

Pria itu bertanya sambil tersenyum penuh maksud. Sejurus aku terdiam dan gelagatku yang salah tingkah telah menjadi—tunggu sebentar! Sepertinya aku mengulang cerita ini dari awal. Maaf, mungkin ini efek terlalu mencintai Kiarakuma, karena rasanya mustahil bagiku untuk tidak menceritakan detik-detik mendebarkan di mana aku menemukan dan mencintainya begitu saja.

-fin.

A/N:

  1. Kiarakuma adalah nama anak dari Iga Massardi, tak pinjem ya mz namanya. Heuheu
  2. Um, ya, benar. Pria-pria di atas memang mengidap objectophilia. Kasian.

10 thoughts on “Si Kurator Sinting dan Kiarakuma

  1. AD says:

    duh terimakasih putsen sudah baca cerita ini ❤

    yep, yep. kiarakuma itu guci hahahaha.

    fyi aku bikin di tengah-tengah pengerjaan laporan wkwk jadi semacam word vomit aja gitu dan mungkin ini kurang dipoles lagi, aku menyadari banyak keanehan di sana-sini setelah kepala sedikit adem karena laporan beres, heuheu jadi kanjeng tidak sok tau kok, memang ini kecepetan dan kaku, bikos aku kemarin memangkas beberapa bagian eee ee tapi hasilnya jadi begeneee. nanti jikalau ada waktu akan diedit lagi, hihihi

    thanks sarannya, sudah diedit. ehe!

    Like

  2. aloneyworld says:

    Eh jadi kiarakuma itu guci? Aku kira cerutu XD aku pas awal padahal udah bayangin cewe cantik pake gaun usang merah sama ada tulipnya, sekarang kalo orangnya diganti guci bayanginnya aneh XD tapi ini keren ko bener-bener ngga ketebak :3 eiya kalo mereka objectophilia berarti istrinya si kurator apaan? Manusia atau koper? XD

    Like

    • ADelma says:

      Haha iya, kiarakuma itu guci. Istri si kurator manusia kok, tapi sebenernya dia mengidap objectophilia juga xD

      Like

  3. fikeey says:

    NISAAA AKU BOLEH PENGAKUAN DOSA GAAA? masa ya masa, aku pas baca namanya: Kiarakuma, aku tuh keinget ada film judulnya CJ-7, terus masa di pikiran aku, Kiarakuma tuh ngambil bentuk si makhluk ijo yang namanya CJ-7 ituuu :(( maaf yah maafkeun, aku mikirnya random banget huhuhu.

    aaaaand as always, kamu mah selalu keren lah Nis, kalo namanya bikin orific (ditambah ide cerita yang penyakit psikis giniiii huhu). dan yang aku salutin lagi adalaaah, kamu nulisnya pake karakter orang Indonesia, kerasa banget pula. aku nggak bisa-bisa kayaknya huhu yaampun ngga cinta Indonesia banget sih aku huhuhu ((curhat)). oiyaaa aku sih pertamanya ngga mikir kalo mereka dua-duanya cowok. masa aku mikirnya si kurator ini naksir si Aku (yang kukira cewek) padahal dia udah punya istri. duh maafkeun lagi Nis akunya lagi error. terus pas ada kalimat: “…kami para pria…” langsung deh merasa bersalah terus akhirnya aku re-read lagi dari awal hahaha. terus akhirnya nangkep maksudnya, dan cuma yang bisa: omg, serem juga yaa orang-orang yang objectophilia gini. sumpah serem abiiiis. untunglah istrinya si kurator manusia yaa Nis, gabisa bayangin kalo misal dia self-claim istrinya dia itu Monas -__-
    Nisa ini keren sekali lah huhu. keep writing yaah!! semoga lancar nulis fiksi penuh jedar lagi ehe x))

    Like

    • ADelma says:

      hai fikaaa, makasih banget udah baca cerita absurd ini wkwk duh kok kepikiran sih kiarakuma itu makhluk ijo-ijo yang ada di film CJ-7 LOL imajinasimu liar juga hahahaha
      iya fik, kebetulan aku sekarang lagi suka-sukanya nulis dengan latar indonesia, sukur deh kalo hawa indonesianya kerasa 😀 dan maaf lho kalo narasinya agak musingin, sampe baca dua kali :” sekali lagi makasih yaaaaaaaaaaaaa udah baca hihi

      Like

  4. Oliver says:

    Ini gimana cara komennya ya aku bingung ini keren banget! Sekilas baca tulisan Kaknis jadi inget Murakami gatau kenapa (efek baru selesai baca 1q84). Karena ngalor-ngidul, ke sana ke mari, tapi begitu udah di akhir cerita otak pembaca kayak baru dicolokin ke stop kontak. Langsung nyala, langsung ngeuh, dan itu pengalaman baca yang asik banget. Aku pun sebenernya bingung dan nebak nebak makhluk macam apa kiarakuma ini. Mau nebak kucing kok kayaknya salah ya, haduh ternyata guci. Hm kalo menurutku Kak, latar yang cocok buat fic ini kok Tokyo yha… walaupun aku seneng karena Kakak membawa-bawa Hegarmanah (dulu pas smp tiap mau berangkat sekolah suka lewat situ) tapi entah kenapa belum terasa klik di cerita. Pendapatku aja sihhh hehehe, tapi intinya cerita ini bagus!

    Like

    • ADelma says:

      ebuset murakami, god of absudism. nggak mal ini mah ngalor-ngidulnya karena emang yang nulis sedang pusing gegara laporan, tapi sukurlah kalo kamu masih bisa menikmati 😀 btw soal hegarmanah, hahaha cerita ini emang terinpirasi dari toko vintage yang ada di sana, namanya Garasi Opa, pernah ke sana ga mal? hihi dan btw emang smp kamu di mana? ._.

      makasih ya udah baca, makasih juga pendapatnyaaa 😀 mudah-mudahan ke depannya eike bisa lebih baik lagi nulis dengan latar indonesia, atau atau, leh ugha nih mencoba nulis dengan latar tokyo ahahaha ._. sekali lagi makasih yaaaa 🙂

      Liked by 1 person

  5. aminocte says:

    Duh Kak Nisa bisa aja idenya, bisa aja nulisnya. Aku nggak tahu mau komen apalagi, maaf ya, Kak, terlanjur kehabisan kata-kata, entah gara-gara tema objectophilia itu atau ceritanya secara keseluruhan. Agak rumit, sih, tapi asik.

    *lho, katanha nggak tahu mau komen apa*

    Like

Leave a comment