Bara Dalam Sekam

large (1)

by ADelma

.

“…istilah durhaka telah mengunci mati posisiku; melawan kalian aku berdosa, berdiam diri saja aku sengsara.”

.

‘Menjadi lebih baik darinya’ bukan nama tengahku. Itulah sebabnya kenapa sampai detik ini bapak dan ibuku masih ogah memeta senyum yang menebarkan aroma bangga seperti yang senantiasa mereka lakukan padanya. Kemarin sore aroma itu kembali terendus, begitu wangi dan adiktif walaupun membuat sakit sekujur tubuhku. Bagi mereka aku ini nomor sepuluh, karena urutan kesatu jelas dia sedangkan urutan kedua sampai sembilan adalah aku-aku versi layak yang cuma hidup dalam imaji mereka—maklum, bapak dan ibuku itu delusional, dulu saja profesinya adalah penjual khayalan. Nama yang bertengger di sudut kanan atas salah satu halaman surat kabar adalah sesuatu yang ecek dan cerita bersampul pujian adalah hal biasa. Sampai sekarang karya-karyanya masih terkenang, bahkan masih menjadi bahan diskusi di forum para penikmat sastra.

Hah, alih-alih membanggakan, buatku hal itu tak lebih dari sekadar hinaan telak. Bagaimana, tidak? Di sini aku masih begini-begini saja; berusaha menorehkan hal berguna sambil tertatih, bepikir keras soal eksistensi sambil merintih, dan merutuki semua ‘kesialan’ sambil bersedih. Tapi sudahlah, toh mereka sudah punya penerus yang elok buat dipamerkan, pun empuk untuk dihujani berbagai macam pujian. Kehadiranku, sih, tidak lebih dari visualisasi tak berarti atas sebait nama di urutan terakhir Kartu Keluarga, atau personel tambahan saat sesi foto kalau-kalau ada angle tertentu yang cuma cocok jika diisi oleh empat orang.

“Lihat kakakmu! Dia—“

—tahi, haha. Apa aku harus berteriak di depan hidung mereka kalau jarak pandangku terhadap segala kelebihan yang dia punya adalah lima juta kilometer? Demi Tuhan kalimat itu mesti segera dipensiunkan! Aku takut mati kalau mendengarnya terus, karena jika dibandingkan AIDS tentu kalimat itu jauh lebih mematikan. Gara-garanya hidupku jadi tak keruan dan dibanjiri keresahan, dari bangun tidur sampai tidur lagi perasaanku tak pernah menentu. Yah, mirip tanggal kiamat lah.

Setiap hari aku selalu mempertanyakan bagaimana hidupku nanti, memeriksa perbekalan yang tak jua terkumpul, mengecek persenjataan yang tak mungkin mendadak canggih tanpa usaha lebih, atau memperbaiki kualitas diri yang mentok cuma segini. Dipikir hal itu tak membuatku menderita, apa? Jadi tolonglah wahai orangtua, berhenti membandingkan aku dengannya. Istilah durhaka telah mengunci mati posisiku; melawan kalian aku berdosa, berdiam diri saja aku sengsara. Jangan salahkan bila suatu hari nanti bara-bara kecil yang menyala jauh di dalam hatiku ini berkobar menjadi begitu besar; mengabukan logika, dan memusnahkan kalian semua.

-fin.

23 thoughts on “Bara Dalam Sekam

  1. titayuu says:

    Kak nisa…. Aku butuh beberapa menit buat nulis komen ga bermutu ini. Plis semoga ga kesel.

    Semua yg dibilang kak put bener semua… Aku tuh pernah berwacana bikin tema macam begini tapi ga pernah berhasil sebagus ini. Ya aku kudu piye ini narasinya bagus gila. Ga ada bosen2nya gitu sampe abis. Malah nagih. Seperti komenku biasanya, INI BAGUS BANGET YA TUHAN ❤❤❤

    Like

    • ADelma says:

      ah mana bisa aku kesel :(( yang ada aku seneng kamu baca tulisan ini. haha makasih banyak yaaaaa =D

      Like

  2. fikeey says:

    ((mengutip kata-kata nyun)) HAHAHA DUH NIS KAMU MAKAN CENGEK BERAPA ATUHLAH TULISANNYA BISA SEKEREN INI HUHU :”(( okeh maapkan kepslok saya. nis nis nis, ini bagus bagus bagus banget sampe sejuta pangkat sejuta kali, kalo perlu pangkat tak terhingga deh huhu. antara miris sama gimanaaaaa gitu bacanya :”(( paling suka bagian: lihat kakakmu dia – tahi omg itu aku suka banget gatau kenapa hahahahaha.
    ah sudahlah nis, abaikan komen aku yang gapenting ini. ini juga aku sampe bingung mau ngetik apa pas nyampe di boks komentar xD keep writing niiiis! ❤

    Like

    • ADelma says:

      cengeknya seons nih makanya bikin mules ya? :((
      ih fika aku ngikik kamu malah suka bagian -tahi nya hahaha tapi makasih banyak ya duh aku terhura baca komen kamu /hugs/ sekali lagi makasih ya udah baca ❤

      Like

  3. jungsangneul says:

    Ini lebih ke ironi buat para orang tua ya hihi. Ringan tapi berbobot. Maksudnya bahasa yang diungkap memang santai, dengan selingan rima-rima cantik. Tapi inti yang disampaikan dalam dan menyentuh 🙂 keep writing kak nis!

    Like

    • ADelma says:

      iya nih, suka heran aja sama orangtua yg suka ngebandingin anaknya sendiri 😦 miris, sebel, kesel. huhu. makasih ya niswa udah baca ^^

      Liked by 1 person

    • ADelma says:

      rapuh 😦 iya memang, siapa pun yang di posisi itu pasti rapuh. kesian. makasih ya dhila udah baca ^^

      Like

  4. aminocte says:

    Kak Nisa, tulisan-tulisan kakak itu punya jiwa dan itu yang bikin kusuka tulisan ini. Hampir sama kayak Kak Fika, bagian lihat kakakmu dia – tahi .. itu berkesan buatku.
    Keep writing kakak 🙂

    Like

    • ADelma says:

      ah ami komennya bikin aku menggelinding ke pelukan dwi sasono ehehe. makasih banyak ya mi udah baca cerita ini ^^

      Like

    • ADelma says:

      okelah ambyar kloter kedua siap dimulai mohon bersiap dalam hitungan ketiga yha. hahaha.
      thanks nabil udah baca ^^

      Like

  5. S. Sher says:

    Apa yang perlu aku tulis, kayaknya kakak udah baca di komen lain hahaha. Iya, ini… WOW. Speechless.

    Diksinya kak nisa pasti cantik, terus setiap kali nulis tuh kayak kata kak Ami ada nyawanya. Mau sedih mau kesel, di tulisan kak nisa pasti rasa yg dipilihnya kentara banget 👍👍👍

    Keep writing kak 🙂

    Like

    • ADelma says:

      ah sher, ehe. sukur deh kalo rasa dari cerita ini sampe, ku senang ku senang ^^ makasih banyak ya udah baca 🙂

      Like

  6. ADelma says:

    adoh put kalo w ga terdampar di sini dan setiap saat dicekoki cerita-cerita kece dari kalian wahai WS-mate, mana mungkin tulisanku begini????? so im thanking to you all ehe. ❤

    heh jangan senpai senpai nanti kamu dijewer Q! hahaha makasih ya put dah baca, love you too ❤

    Like

Leave a comment