Kecemasan yang Menyelinap

large (2)

by Adelma

Rating; PG-17 for some harsh words.

“Inilah bodohnya seorang Rabu, alih-alih membangun surganya sendiri, eh, malah mau-maunya terjebak di neraka yang sama selama hampir lima belas tahun.”

.

Dengan alasan tak mau jadi goblok karena terus-menerus menyandang status karyawan—yang mana nama lainnya adalah sapi perah, jika kalian ingin tahu—maka aku pun berbalik dan melempar kemeja dan dasi yang tak ubahnya kostum badut ke muka bosku yang tubuhnya hampir menyamai babi; besar dan lemaknya bergelambir di mana-mana. Mulutnya seketika menganga dan dengan semangat yang mencapai dua ribu persen aku pun menjejalkan file pekerjaan yang banyaknya sudah menyamai dosa ibuku ke dalam sana.

“Mampus lo, Babi,” kataku enak. Setelahnya aku melengang pergi sambil tertawa-tawa, meludahi karyawan yang berjajar di sepanjang koridor kantor yang bagiku lebih mirip dengan neraka. Ya Tuhan, kalau begini caranya aku tak perlu surga. Bagiku ini lebih dari sekedar surga—surga yang bisa kujangkau tanpa harus merasakan mati. Bagaimana, tidak? Aku berjalan dengan perasaan yang seringan tisu toilet, berkacak pinggang sambil terus melukis senyum tanpa takut catnya habis. Kuembuskan napas banyak-banyak saking lega sebelum meneriaki mereka ‘jalang!’ sampai tenggorokanku lebam di mana-mana. Edan, ini menyenangkan—lebih menyenangkan daripada seks.

“Anda mau ke mana, Pak Rabu? Kenapa telanjang dada begitu?” Haris sang office boy bertanya sambil menampilkan muka heran paling jelek yang pernah kutahu. Hem, rambut Haris sepertinya baru dicukur; pendek, rapi, belah pinggir, dan pastinya kelimis, seperti sudah dibubuhi lima liter minyak. Kulihat tangannya yang bergetar hebat memegang tray berwarna merah dengan motif bunga kertas kampungan yang sudah akrab dengan meja kerjaku. Di atasnya ada cangkir butut yang mengepulkan asap tipis. Isinya kopi tapi aroma yang ditebarkan lebih mirip bau kentut.

“Gue mau ke surga Firdaus, Ris. Hahahaha.”

“Hahahahahaha.”

Entah apa motivasi Haris ikut tertawa bersamaku, aku tak mau cari tahu dan lebih memilih untuk kembali meniti langkah menuju gerbang kemerdekaan yang tinggal beberapa langkah lagi. Sebuah gagasan muncul seiring dengan melambatnya pijakan di undakan tangga yang mengantarku turun menuju lantai nol. Yeah, aku mau berwirausaha saja! Pelan-pelan kupikirkan usaha apa yang kelak akan kurintis begitu sampai di rumah. Berjualan organ intim wanita? Menerima jasa pemotongan bayi? Membuka usaha daur ulang kotoran manusia? Membuka pabrik kepercayaan dalam kemasan? Ya, Tuhan. Kalau kepalaku mendadak disesaki ide begini, aku bisa apa coba? Rasanya jadi tak sabar untuk cepat-cepat pulang, lantas ke kamar mandi dan membiarkan air keran turun menuju tubuh dengan kegembiraan yang bertalu.

Kuseret langkahku semakin cepat sampai-sampai sepatuku yang kanan lepas saat di gerbang. Kedua alisku melorot sampai kuping, galau antara memungut sepatu yang terlepas atau melepas sepatu yang masih terpasang. Tanpa pikir panjang, aku memilih opsi kedua. Persetan dengan sepatu. Toh jika nanti aku sudah kaya karena berwirausaha, jangankan sepuluh pasang, pabriknya pun pasti bisa aku beli! Gaya banget.

Inilah bodohnya seorang Rabu, alih-alih membangun surganya sendiri, eh malah mau-maunya terjebak di neraka yang sama selama hampir lima belas tahun. Lihat sekarang? Dengan gaji yang tak lebih besar dari upil kuda mana bisa aku membeli rumah? Dengan jam kerja yang melebihi durasi tidur mana bisa aku berkencan dengan wanita lalu kawin? Dengan kebebasan yang persentasenya tak lebih dari satu persen mana bisa aku berlibur ke pantai yang jarak tempuhnya cuma sepuluh menit dari rumahku? Pergi pagi sekali dan pulang malam sekali membuatku ketinggalan segala berita penting yang mengguncang negeri; Pak Presiden yang ternyata gay, kanabis yang dilegalkan, pengemis yang direkrut jadi pegawai negeri, dan lain sebagainya. Berengsek, ya? Mentalku rupanya sudah di-setting seperti gajah di Way Kambas sana. Akibatnya sekarang aku menjadi bujang-gendut-lapuk-yang-miskin-kuper-dan-bodoh. Padahal aku lulusan universitas ternama, lho. Cum laude pula! Bangsat. Besok-besok ijazahku akan kujual saja ke tukang sayur untuk dijadikan bungkus cabe.

Oh, ya. Kemarin bapakku umurnya genap delapan puluh tahun. Katanya setiap malam ia menangis di telapak kaki ibuku karena anaknya yang kurang tampan ini tak kunjung memberikannya menantu dan cucu. Aha, ampuni aku wahai bapak. Ini semua gara-gara takdirku yang tergaris tidak terlalu rapi plus kebodohan yang menempel solid di kepalaku. Keapesan pun belum selesai karena aku diperlakukan layaknya sapi perah oleh bosku, bersamaan dengan ribuan karyawan lain yang nyatanya lebih kasihan dariku—ya—lebih kasihan karena hingga detik ini mereka masih memutuskan untuk berada di sana, mengais upah yang mana masih jauh dari kata layak. Dan Puji Tuhan, aku masih diberi kesempatan untuk sadar lebih dulu dan minggat dari tempat jahanam itu.

Eh, aku melupakan sesuatu, omong-omong. Tadi sebelum pulang aku lupa berterima kasih pada meja kerjaku. Sebenarnya dia yang berjasa banyak atas keputusanku yang edan ini, kalau kepalaku tidak terantuk ke ujungnya saat mengambil bolpoin yang jatuh ke bawah, mana bisa aku sadar dan jadi cerdas begini? Tapi, sudahlah. Nanti malam kalau sempat aku akan mengendap-endap datang ke sana untuk membawakannya cairan pembersih dengan wangi lavender dan taplak yang manis, semoga saja dia suka.

“Kenapa udah pulang? Jam makan siang aja belum.” Pertanyaan berbalut kekekihan yang melayang dari celah geligi wanita itu langsung membuatku panas-dingin. Kalau Ibu sampai tahu aku baru memecat perusahaan di mana aku bekerja, bisa-bisa namaku dicoret dari Kartu Keluarga! Karena dia pasti mikir kalau aku tidak akan punya duit, lalu menyusahkannya dengan cara meminta uang harian untuk sekadar beli kopi dan rokok. Sial

“Kantorku kebakaran, Bu,” jawabku sambil berjalan menyamping—sengaja melewatinya yang tengah menyapu bangkai buruk gagak yang berserakan di teras rumah.

“Terus, baju kamu ke mana? Pulang, kok, sambil telanjang dada.”

“Dijual, lumayan buat beli nasi bungkus.”

“Sepatu?” Ibuku mengangkat sapu ke bahu, picingan matanya mengisyaratkan bahwa ia mengendus sesuatu. Duh!

“Ibu kenapa banyak tanya, sih? Enggak bakal jadi kaya juga.”

Krak! Tengkorak kepalaku terasa remuk akibat gagang sapu yang terlalu keras memagut. Perempuan berusia tujuh puluh lima tahun itu tampak puas, ia tertawa dan kembali memukuliku—kali ini tepat di bokong. “Rasakan ini! Kamu pikir, Ibu enggak tahu kalau sekarang kamu jadi pengangguran?! Dasar anak tidak berguna! Sekolah tinggi-tinggi, mahal-mahal, tapi hanya jadi sampah! Hanya bikin kami bangkrut! Ceritanya sudah bekerja tapi membuat kami naik haji saja tidak bisa! Ceritanya sudah bekerja tapi merenovasi genteng supaya tidak bocor saat hujan saja tidak mampu! Melihara kamu enggak ada bedanya dengan menggeleng kucing sampai mampus, sial aja terus bawaannya!”

“Bunuh aku aja, Bu, sekalian. Enggak ada gunanya juga aku hidup.” Aku menikmati pukulan Ibu sambil terkekeh frustrasi. Setengah tak percaya jika ternyata hidupku lebih pahit dari empedu ikan.

“Tanpa disuruh juga Ibu bakal bunuh kamu. Rasakan ini!” Ini gila, Ibu menusukkan ujung gagang sapunya ke mata kiriku lantas ditekannya kuat-kuat sampai menembus otak dan—

“—anjing!” Tubuhku terjungkal ke bawah. Terang merambat masuk melalui retina yang separuhnya masih terkurung lipatan mata, sementara aroma apel segar tercium oleh sepasang lubang hidungku yang semalaman tadi buntu akibat flu. “Cuma mimpi?”

“Lha, iya. Heboh banget mimpinya, Mas? Akibat demam tadi malam kayae.”

Mbak Surti anteng mengepel lantai kamar sementara aku termangu dahsyat akibat mimpi yang sangat goblok itu. Wanita itu memakai daster merah muda yang panjangnya semata kaki, tangannya sangat besar, ketiaknya kelihatan dan bulunya mencuat ke mana-mana lantaran belum dicukur. Heu. Tubuhnya yang tampak empuk bergoyang ke sana ke mari, haha entah kenapa sekilas mirip panna cotta raksasa dan—oke, oke, stop. Tarik napas, keluarkan. Tarik napas, keluarkan.

Jadi begini, statusku sebenarnya masih mahasiswa tingkat akhir, Pak Jokowi bukan gay, kanabis masih ilegal, pengemis tidak direkrut jadi pegawai negeri, Ibu dan Bapak usianya belum sampai enam puluh tahun, dan yang penting… aku memang bujang, tapi tidak lapuk, tidak gendut, tidak kuper, dan pastinya ganteng. Sip.

“Mbak, namaku siapa?”

“Insya Allah namanya Mas masih Rabu.”

“Aku udah kerja apa belum, sih?”

“Kerja apaan, Mas? Skripsi saja belum kelar.”

Jawaban Mbak Surti refleks membuatku ngakak seperti orang kesetanan, aku merayakan kebodohanku sendiri dengan menggeliat-geliat di lantai sambil mengucap syukur sebanyak yang aku bisa. Terlihat Mbak Surti menggelengkan kepala lalu pamit undur dari kamar untuk memberiku spasi agar bisa bersyukur lebih khidmat lagi. Mimpi tersebut sepertinya memang refleksi atas kecemasanku. Bagaimanapun juga hidup tidaklah sebercanda itu. Kuliah—apalagi tingkat akhir—memang masa-masa yang paling bikin depresi, tapi di level selanjutnya—setelah lulus, maksudku—sudah pasti akan lebih menggila daripada ini. Sebut saja tuntutan-tuntutan sosial akan berdatangan, tanggung jawab akan muncul tak keruan, belum lagi fase mengerikan di mana aku akan merasa seperti ditinggalkan oleh orang-orang dan dikejar oleh waktu di saat yang bersamaan. Semua tampak menyulitkan, dan jujur saja, setiap kali memikirkannya aku selalu merasa pesimis dan takut menjadi gila.

-fin.

17 thoughts on “Kecemasan yang Menyelinap

  1. shiana says:

    Kaknisa halo!

    Eee bentar, aku mau ngakak dulu. Ini kocak banget gaboong. Astaga. Ngiranya dari awal aku udah mikir ‘ini orang bego banget sih minta diketekin sampe modar, songong pula’. Aku bete berat jujur waktu baca betapa dia sombong banget dan soksokan. Kaknisa jago jugak ah nyelipin yang lucu2 gitu, ngakak jadinya dan nggak bosen bacanya ;;-;; Yang paling klimaks bagiku waktu bagian Mbak Surti (Gimana, Mbak, mau aku cukurin nggak bulu keteknya? Ew.). Dan aku juga ga kepikiran kalo ini bakal berakhir hanya mimpi???!?!?!??

    Heu. Keren banget kaknisaaa. Keep writing!

    Like

    • Adelma says:

      Halo dek shiana! Hihi. Ini emang sengaja dibikin lucu-lucu sinis gimana gitu biar reader bacanya sambil nyengir jengkel ((lah)) Makasih banyak ya udah baca, nanti aku tanyain deh kek mbak surti bulu keteknya udah dicukur apa belom, kalo belom shiana mau cukurin. gitu. Hahaha.

      Like

  2. liakyu says:

    ((CENGO PARAH))
    Sumpah kaknis, aku bengong loh abis bacanya. Serius. Kayak raga sama jiwa kepisah.
    ASLI BAGUS BANGET KAKNISAAAAAAA. Kaknisa tuh berani ambil tema-tema nyeleneh dan ekstrem begini ((menurutku sih gitu)) tapi dibikinnya jadi empuk bangeeet. Duh aku speechless badai ah. Masih efek cengo tadi. Nice banget lah kaknisaaaa. I adore youuu ♡♡
    Keep writing!!

    Like

    • Adelma says:

      Lah, meninggal dong li kalo jiwa raga kepisah??? Dx
      Aih makasih banyak, sukur kalo kamu suka. Resep supaya empuk begini adalah perbanyaklah pemakaian meat tenderizer li ((gak)). I adore you too liaaaa sekali lagi makasih ya udah baca ^^

      Like

  3. dhila_アダチ says:

    Aku takut menjadi gila. Heuheuuu.. samaa! Aku juga takut kalau ke depannya gak bakal tidur nyenyak malem lagi karena bakal ada lebih banyaaaak tanggung jawab yg harus diemban pas udah kerja. Uang ditangan, kemenangan melayang, halah.
    Begitu banyak kalimat keren kaak, tapivyg paling favorit ini! >> Kalau Ibu sampai tahu aku baru memecat perusahaan di mana aku bekerja,…
    Memecat perusahaan! Aihh.. xDDD

    Ini tingkat nulis yg zuperr..Kalau aku mo nyoba nulis ini, tangan udah gemeter duluan yg ada lol. Keep writing kak!!!

    Like

    • Adelma says:

      Iya, rasanya sutres banget lho dhil Dx ((ketahuan kan kalo ini semi-curhat)) HAHAHAHA. Makasih banyak ya dah baca ^^

      Like

  4. dhamalashobita says:

    Hai Nisa.. Kembali lagi para master di blog ini dan aku bahagia tersasar ke sini. Hehehe.
    Tulisan km selalu cerdas. Secerdas-cerdasnya. 🙂
    Hmm, aku merasa tertampar di paragraf awal, okelah. Aku juga karyawan, berarti nama lainnya juga sapi perah. Hahaha. Dan ini jenius. Aku suka kalimat2 kamu. Frontal dan jujur. Keep writing, Nisa!

    Like

    • Adelma says:

      Ah malaaaa, makasih pujiannya huhuhu kalo yang mujinya kamu mah aku pengen menggelinding aja saking senang :((
      Tenang, aku juga sapi perah kok, sapi perah made in Bandung hahahaha. Makasih banyak udah baca tulisanku ya mala ^^

      Like

    • dhamalashobita says:

      Jangan menggelindiiiing. Hahahahaha. 😀
      Aku made in manaaa ya.. wkwkwk
      Sama-sama, Nisa. Kalau tulisanmu, aku rela baca terus. Kami sering bikin aku jatuh cinta sama tulisanmu.. 😍

      Like

  5. Ms. Pang says:

    “Insya Allah namanya Mas masih Rabu.”–kalo mas tanyanya lusa, Insya Allah sudah jadi Jumat, Mas…

    YAAMPUN MAS RABU MAKES MY DAY!!
    Kanis yang jadi dalang semua ini juga makes my day!!!
    Yaampun aku uda gemes banget mau ikut ngeroyok Rabu etdah masi skripsi mas…
    Tuh kan topik ini tuh topik yang bikin adem-panas dan sensasinya real ahahahaha apalah arti semeseter empat tapi aku sudah dihantui hal macam ini :”
    KANISA SOOPER SEKALI EFEK GALAUNYA MAKIN-MAKIN! Aku tidak menduga semua ini hanya mimpiiiiiii

    Like

    • Adelma says:

      Ah kakpang komenmu juga makes my day kyaaaaaaaaaa!!! Kenapa sih kakpang lucu banget :((
      Makasih banyak ya udah baca, ketakutan semacam ini pasti dialamin sama siapapun tanpa terkecuali. Jadi, mumpung fasenya masih agak jauh, monggo persiapkan mental kakpang. Sensasi dihantui ketakutan semacam ini tuh…. NYETRUM ABEZZZZZ. Hahahaha.

      Liked by 1 person

  6. bapkyr says:

    Rabu adalah gue dua tahun lalu jir
    HAHAHAHAH INI MAH CURHATAN GUE
    w kalau baca fiksi u tuh selalu pengen sembunyi di dalem selimut tetangga, asa asa minder, tapi pengen nulis kaya gini, tapi w males belajar.
    kesel ama u nis 😦
    kapan sih nulis ada flop-nya

    Like

    • Adelma says:

      gue juga kok nyun, sampai sekarang AHAHAHA.

      aaah nyun jan gitu aaah w aja masih belajar kok ini, gosah minder minderan orang tulisanmu juga cetar banget lho ini aja masih kepikiran solilokui punya lo nih gimana coba???? :((

      makasih ya mbanyun udah baca ^^

      Like

  7. Adelma says:

    huaaa makasih banget lho mas anggit udah baca ceritaku haha alhamdulillah kalo pada suka, abisan awalnya ragu gitu kan put mau posting soale bahasanya kasar, tapi kasar pun karena niatnya untuk menyesuaikan dengan cerita ._.
    sekali lagi makasih yaaa putri dan mas anggit 😀

    Like

  8. S. Sher says:

    Aku mikir dia mimpi apa ya, pas teriak jalang, cuman tetep ngakak sih sepanjang cerita.

    Pas bagian, “Kalau Ibu sampai tahu aku baru memecat perusahaan di mana aku bekerja,” ya ampun, ini manusia pede banget abis mecat perusahaan. Sama idenya dia buat wirausaha, aku ketawa aja LOL.

    Kak nisa tuh kalo nulis kayak yaudah ngalir semua dan idenya ada-ada aja tapi pasti jadi mengesankan 👍👍👍

    Like

  9. O Ranges says:

    “… Sebut saja tuntutan-tuntutan sosial akan berdatangan, tanggung jawab akan muncul tak keruan, belum lagi fase mengerikan di mana aku akan merasa seperti ditinggalkan oleh orang-orang dan dikejar oleh waktu di saat yang bersamaan.” — TITAN YANG TADINYA NGAKAK SEKARANG JADI GALAUUU AAAAAAH /PLAK/

    … abaikan yg terakhir pls ._.

    aiya jujur aja titan speechless, kak. kalau bukan baca ini dari lapi, mungkin titan uda gulung-gulung galau di kasur bzzt

    love this story ❤ ❤

    Like

  10. nia says:

    hai halo, aku pembaca baru karyamu. mungkin setelah ini bakalan liat karya mu yg lain. dari segi bahasa aku sukaaa..
    dan untuk fiction ini dua jempollah
    hahahahaa kocak paraaaaaaah ih. si rabu ini mimpinya mau banget diketawain rupa nya. karena terlalu dipikirkan karena cemas sampe kebawa mimpi, mbak surti bulu ketek nya kemana kemana lagi mungkin gara gara bau bulu ketek mbak surti kali ya si rabu jadi kebangun.

    Like

Leave a reply to dhamalashobita Cancel reply