Terlalu Baik

photo-1449870877465-2492f06ed718

credit pic: Richard Austin

by aminocte

Aku tidak butuh keduanya, tetapi terima kasih atas sarannya.

Terakhir kali Aris bertemu dengan Nita adalah seminggu yang lalu, saat keduanya mengikuti tes TOEFL pada jadwal yang sama di gedung Pusat Bahasa di kampus mereka. Lelaki itu lega melihat Nita yang sepenuhnya pulih. Buktinya, Nita bisa bercakap-cakap dengan normal tanpa terganggu oleh hidung yang tersumbat. Sesekali, gadis itu tertawa lepas sebagai reaksi untuk candaan yang dilemparkan temannya, teman Aris juga sebenarnya. Namun, lelaki itu memilih untuk menjaga jarak. Ia masih ingat dengan insiden di kantin kala itu, yang membuat semuanya terasa salah dan canggung. Lagipula, Nita tidak memberikan sinyal yang memungkinkannya untuk membuka pembicaraan seperti biasa. Setiap kali Aris bertemu gadis itu, yang mereka lakukan hanyalah bertukar senyum dan sapaan canggung.

Hari ini, Aris melihat Nita sendirian di lobi Pusat Bahasa. Suasana sepi, tes TOEFL yang dijadwalkan pada shift pagi baru saja dimulai. Gadis itu tampak sedang menelusuri deretan nama dan skor tes peserta di papan pengumuman. Telunjuknya bergerak ke atas dan bawah, ke kiri dan ke kanan. Aris diam saja, memperhatikan dari kejauhan. Mendekat ia sungkan, menyapa pun ia segan.

Gerakan jari telunjuk Nita berhenti di satu titik, kemudian bergeser ke kanan. Nita mengulum senyum setelahnya. Aris tiba-tiba saja dirasuki rasa penasaran. Langkah-langkah panjang lelaki itu membawanya pada suatu titik yang berdekatan dengan posisi gadis yang sedari tadi diamatinya.

“Ups, sori,” ujarnya begitu tidak sengaja menyenggol bahu Nita dari belakang. Aris menunduk, mencari-cari sepasang mata serupa almond itu, berharap kalimatnya berbalas. Lelaki itu sibuk mengira-ngira. Berapakah kemungkinan momen ini dapat mengembalikan hubungan pertemaan mereka seperti semula? Sepuluh persen? Delapan puluh persen?

Saat Nita menoleh ke sumber suara, saat itu pula senyum lelaki itu mengembang.

“Eh, kamu, Ris. Kukira siapa.”

Jauh dari kekhawatirannya selama ini, Nita bersikap biasa saja kepadanya, seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal ekspresi dan suara Nita kala insiden itu jelas menggambarkan bahwa gadis itu terluka. Dan semuanya karena omongan Aris yang tidak pada tempatnya.

“Aku mau minta maaf dulu.”

“Untuk?”

“Kejadian di kantin tempo hari. Semuanya salahku. Kamu benar, aku seharusnya tidak hanya asal bicara tanpa memikirkan perasaanmu.”

Senyum mengembang di wajah gadis itu. “Aku sudah memaafkan kamu, kok.”

“Serius?”

“Serius.”

Thanks ya. Kamu baik sekali.”

Nita menggeleng. “Tidak usah memuji seperti itu. Aku geli mendengarnya.”

Aris tersenyum kikuk. Saatnya untuk mengalihkan pembicaraan. Ini bukan topik pembicaraan yang membuatnya nyaman. Meminta maaf dan memberikan pujian membutuhkan kalimat yang baik dan ketulusan, bukan kalimat tajam yang sarat letupan ide.

“Skor TOEFL-ku berapa?”

Nita melongo. “Hah?”

“Hah kenapa?” Aris balik bertanya. Menurutnya, tidak ada yang aneh dari pertanyaannya beberapa saat yang lalu.

“Kenapa justru bertanya skormu padaku? Yakin tidak ada yang salah dari pertanyaanmu barusan?”

“Kamu, ‘kan, punya rasa ingin tahu yang tinggi. Mana tahu kamu sudah lihat skorku.”

“Belum. Untuk apa?”

Aris mencelos begitu melihat reaksi Nita yang begitu polos. Ia memutuskan untuk mencari skornya sendiri. Mencari namanya di antara empat puluh peserta bukan perkara sulit, tetapi skor itu diurutkan berdasarkan nomor ujian, bukan urutan abjad, dan itu membuatnya sebal.

Aris Ramadhana.

Lelaki itu menahan napas. Ia berekspektasi tinggi untuk tesnya kali ini. Paling tidak ia akan mendapatkan skor 627, setara dengan level C1 atau proficient. Bukan intermediate lagi seperti kebanyakan temannya. Aris berharap dirinya menjadi salah satu dari segelintir yang bisa melampaui batasan yang begitu tinggi itu.

Aris Ramadhana … 610.

Aris tertegun. Senyumnya memudar. Ini tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ia yakin sekali telah mengerjakan soal-soal tanpa menghadapi kesulitan berarti. Lalu, apa masalahnya? Apakah dia kurang teliti dalam mengerjakan bagian Structure and Written Expression? Apa telinganya mendadak bermasalah kala mengerjakan bagian Listening Comprehension? Ataukah otaknya mendadak buntu saat mencerna teks dan memilih kosa kata yang tepat dalam bagian Reading and Vocabulary?

Bergegas, Aris menelusuri daftar peserta tes TOEFL itu sekali lagi, mencari nama gadis yang di sebelahnya. Bila skor Nita pun berhasil melampaui 627, lebih baik ia menghilang dari dunia ini sekarang juga.

“Skormu 580, Nit,” gumam lelaki itu tanpa sadar.

“Memang.” Nita terdiam sesaat. “Memangnya kenapa? Skormu berapa?”

“Rahasia,” ujar Aris sok misterius. Telapak tangannya menutupi separuh kolom ketiga yang berisi skor TOEFL total dari empat puluh nama peserta.

Gadis itu mendecak sebal. “Memangnya kenapa, sih, harus ditutup-tutupi seperti itu? Skormu pasti lebih tinggi daripada skorku. Lagipula, ini tidak adil. Kamu sudah tahu berapa hasil tesku, sementara aku tidak boleh tahu hasil tesmu.”

Fine. I got 610,” jawab Aris, akhirnya. Nadanya datar, seakan tidak ada yang bisa dibanggakan dari skor setinggi itu.

“Lho, itu, kan, bagus? Jarang-jarang ada yang bisa tembus 600. Yang tembus 550 saja bisa dihitung dengan jari untuk satu shift tes.” Nita tersenyum, ikut senang atas pencapaian temannya itu. “Kamu hebat, Ris. Selamat, ya.”

Lelaki itu menggeleng. Matanya meredup, tidak berani mencapai level yang lebih tinggi daripada lantai. Kepalanya sedikit tertunduk. Jelas sekali Aris tampak kecewa.

“Kenapa, Ris? Kamu tidak senang dengan hasilnya?”

“Aku gagal mencapai targetku. Ini memalukan.” Aris menjawab, nyaris tanpa nada. Padahal hatinya kacau, seperti terlalu lama diputar dalam blender. Oh, itu berarti hatinya sudah hancur dan lumat, bukan?

“Kenapa harus malu untuk suatu pencapaian yang bagus? Kamu harusnya bersyukur karena sudah mendapat hasil sebaik itu.”

Senyum pahit tersungging di bibir lelaki itu. Senyum yang sangat jarang diperlihatkannya kepada orang lain.

“Bersyukur dan tidak mudah merasa puas adalah dua hal yang berbeda, Nit. Aku bersyukur bisa menjadi segelintir orang yang berkemampuan bagus. Namun, aku tidak puas dengan pencapaianku ini. Tidak sampai targetku tercapai.”

“Aku tidak mengerti dengan pemikiranmu, Ris.”

“Kamu tidak akan pernah mengerti, tentu saja. Kita terlalu berbeda.” Lelaki itu mengatur napasnya sejenak. “Maaf saja, kamu tidak bisa memaksakan pola pikirmu kepadaku. Aku punya standarku sendiri, yang mungkin lebih tinggi daripada kebanyakan orang, termasuk kamu.”

Aris melihat Nita menatapnya lama. Entah iba atau kasihan, entah justru tidak paham. Lelaki itu tidak ingin peduli.

“Mungkin kamu butuh minuman dingin dan teman mengobrol? Kamu terlihat tegang sekali.”

Oh, Nita justru membaca ekspresi wajahnya. Aris telah salah menduga. Pikirannya memang sangat tegang saat ini. Namun, lelaki itu tidak menyangka bahwa apa yang terjadi dalam dirinya bisa dibaca oleh Nita dengan begitu mudah.

“Terima kasih atas tawarannya, Nit. Tetapi, aku tidak butuh keduanya. Aku butuh sendirian.” Lelaki itu melihat arlojinya sekilas. “Aku pulang dulu.”

Saat Aris hampir melewati pintu gedung Pusat Bahasa, Nita memanggilnya, membuat lelaki itu terpaksa menoleh untuk menjawab panggilan itu.

“Aris!”

“Ya?”

“Mungkin kamu butuh tidur. Itu cara yang cukup efektif dalam merilekskan pikiran dan melupakan permasalahan.”

Aris tertegun. Bukan tidur yang dibutuhkannya sekarang, melainkan otak yang siaga menganalisis segala sesuatu yang telah membuatnya gagal serta apa yang akan dilakukannya agar targetnya tercapai. Terdengar berlebihan, tetapi itulah yang harus dilakukannya bila tidak ingin jatuh ke lubang yang sama.

Ya, Aris butuh pikiran yang sepenuhnya siaga, bukan pikiran yang terkantuk-kantuk karena terlalu rileks. Ia justru akan berpikir keras sesampainya di rumah. Mungkin ia akan mendengarkan musik bila otaknya terlalu tegang, tetapi yang jelas, tidur bukanlah hal yang dilakukannya untuk merilekskan pikiran. Apalagi untuk melupakan permasalahan sebesar ini. Permasalahan ada untuk dicari jalan keluarnya, bukan untuk dilupakan begitu saja.

Namun, Nita terlalu baik. Gadis itu terlalu baik karena telah memberikan saran kepada lelaki yang kerap tidak memedulikan orang lain seperti dirinya. Gadis itu terlalu baik karena mau saja mengikuti pola pikirnya yang rumit dan berliku. Gadis itu terlalu baik karena telah sabar menyimak celotehannya, yang biasanya, membuat kebanyakan orang berjengit, menghindar dari topik-topik berat yang kerap ia lemparkan.

Maka, Aris pun tidak sejahat itu untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada Nita.

“Terima kasih atas sarannya, Nit.”

Kamu baik sekali, itu yang tidak berani ia ucapkan setelahnya. Lagipula, bukankah Nita geli mendengarnya?

fin

 

Author’s note:

  • Aku hampir saja kebablasan membuat dialog mereka lebih casual, padahal di cerita sebelumnya, dialog mereka cukup formal.
  • Dan, yeah, Aris masih punya perasaan, sebenarnya.
  • Ngomong-ngomong, Sakura adalah lambang untuk kebaikan di Jepang (dari laman Hanakotoba, Wikipedia).

9 thoughts on “Terlalu Baik

  1. slmnabil says:

    AS EXPECTED KAK AMI SELALU INFORMATIF. JADI PENGEN TIDUR /EH/

    Nabil suka kalimat bersyukur dan tidak mudah merasa puas adalah dua hal yang berbeda. ITU PANCEN OYEEEE SEKALIIII

    Like

  2. Ms. Pang says:

    OH MYYYYYYYYYYY ARIS NITA GLAD TO SEE YOU TWO AGAIN AWAWAWAWAAAAAAAAAAAAAAA XD

    Ka Ami…ini gatau ya kita ada setrum apa, dari mbak rujak cingur yang tidak kusengajakan namanya samaan sama ka ami, ini kemarin lusa baru kelar tes TOEFL dan ada temen mirip Aris gitu sifatnya yawla kebayangggg hahahahaha
    dan Ka Ami ngasi gambaran ke aku yang socio-phobic atau suka kagok kudu ngasi respon gimana ke orang alias kesulitan mengekspresikan isi hati :”
    Thank God, Nita does helps me, aku asli canggung ngadepin orang macem Aris kaya… duh kudu bilang apa nih, maunya nenangin kan tapi ga nemu kalimat yang pas bagaimana… Soalnya menurutku orang yang lagi ngalamin apa yang Aris alami cenderung/pasti lagi sensitif (kataku sih) jadi aku suka kagok kudu ngapain.
    Dan sekarang aku tau,
    aku harus nyuruh mereka tidur!
    Mereka suka gasuka,
    pokok kudu tidur!!!
    (kayanya sih lebih guna buat aku soalnya aku yang suka melarikan diri lewat tidur hvt #bukaaibpartsekian)

    KA AMI THANKIES A BUNCH WOWOWOWOW LUV YU KA AMI!!! ❤ ❤ ❤ KEEP WRITING!!!

    Like

    • aminocte says:

      Wah, benarkah? Duh, kakpang, mungkkn kita harus kolab beneran *eh*. Aku nggak nyangka cerita ini jadi mirip real lifenya kakpang.

      Aku juga sebenarnya suka kagok kalau berinteraksi, jadi mudah-mudahan ini bukan kesotoyan belaka..haha. Dan soal tidur itu, aku sebenarnya juga setuju bahwa tidur adalah pelarian yang oke.

      LUV YOU TOO KAKPANG ♡♡♡

      Liked by 1 person

  3. dhamalashobita says:

    Ami halooooo aku mampir.
    Ini Aris dan Nita pernah punya kisah? Oke, baca ini seperti membaca sesuatu yang missing. Karena mungkin aku nggak tahu kenapa Nita dan Aris jadi secanggung itu.
    Kamu mampu mengungkapkan kecanggungan yang ingin kamu gambarkan untuk pembaca. Kamu berhasil. Hehehe.
    Ini keren. 😀
    Keep writing, Ami!

    Like

    • aminocte says:

      Halo, Kak, terima kasih sudah membaca :).
      Iya, Aris dan Nita punya kisah sebelumnya, bisa dibaca di Pertanyaan Anonim dan Empati, kalau kakak berminat.
      Soal kecanggungan itu, sebenarnya karena aku suka kikuk juga kalau berinteraksi dengan orang.
      Keep writing juga, ya, Kak 🙂

      Liked by 1 person

  4. S. Sher says:

    BENTAR. GOLOK MANA GOLOK. 610. GAK PUAS. ARIS MINTA DISAMBIT.

    Hahaha, ya anyway, aku gemash sama dua manusia ini soalnya, Arisnya dingin-dingin gitu tapi masih, “Yaudahlah ya, demi Nita, dia baik banget sih.” Terus nitanya baik :”” pasti bingung ngadepin makhluk macem Aris, tapi dia bisa dengan baiknya X)

    Keep writing kak ♥

    Liked by 1 person

Leave a comment