[Writing Prompt] Achromatopsia

teenager-1131815_1280-1

Abu-abu

by aminocte

“Semuanya… tampak abu-abu bagiku.”

 .

Bagaimana rasanya jika semuanya tampak abu-abu?

Tidak buruk. Setidaknya, tiada warna yang lebih menyakitkan mata dibandingkan yang lainnya. Semuanya monokrom, hanya saja dengan intensitas berbeda. Hitam, abu-abu gelap, abu-abu terang, hingga putih. Sensasinya kurang lebih seperti menonton film hitam putih. Atau foto hitam putih. Bukankah film hitam putih sama menariknya dengan yang film berwarna? Bukankah foto hitam putih punya daya tariknya tersendiri? Bahkan, terkadang yang hitam putih justru lebih terlihat misterius, bukan?

Orang-orang mungkin mengira hidup di alam yang kelabu adalah hal yang paling monoton seumur hidup. Tidak juga. Mereka mungkin mengira bahwa menjadi sepertiku pasti sangat menderita. Hmm, sepertinya mereka terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bukankah masih ada banyak hal di dunia ini yang membuat manusia menderita? Ketidakmampuan untuk mempersepsikan warna mungkin bukanlah salah satunya. Ketiadaan harta, status, sahabat, pasangan hidup bukankah lebih pahit untuk dijalani? Malahan, ketiadaan kasih sayang terkadang membuat manusia merasa ingin keluar saja dari zona oksigen gratis di planet hijau ini, ‘kan?

Oh, aku baru saja menyebutkan hijau. Percayalah, aku bukannya tidak tahu nama-nama warna. Aku bisa menyebutkan puluhan nama di antara jutaan warna yang ada. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu, hitam, putih, cokelat, biru tua, biru muda, merah jambu, lembayung, abu-abu….

“Hari ini, kamu kelihatan berbeda, Dan.”

Seseorang tiba-tiba saja menghampiri tempat dudukku, menginterupsi lamunanku untuk beberapa saat. Kelas masih sepi. Hanya ada lima dari enam puluh orang yang sudah menempati kursi masing-masing. Padahal, sepuluh menit lagi, dosen akan masuk. Hujan deras yang mengguyur hampir seluruh bagian kota mungkin menjadi salah satu alasannya.

Gadis semampai yang berada di hadapanku ini selalu menjadi daya tarik tersendiri di kelasku. Namanya Nana. Ia memenuhi kriteria gadis ideal versi kaum adam di angkatan kami. Wajahnya cantik. Senyumnya manis. Dengan pesonanya secara visual serta kecerdasannya yang lumayan, ia tidak serta merta merendahkan orang lain. Tutur katanya halus dan menyenangkan. Suaranya terdengar begitu halus dan indah di telinga. Mungkin terdengar memabukkan bagi sebagian orang. Termasuk diriku, kadang-kadang.

“Oh, ya? Apanya yang berbeda?”

Apakah yang berbeda dariku? Aku memang berbeda dari kebanyakan orang. Ketika mereka mampu melihat ribuan, mungkin jutaan warna, aku hanya mampu melihat sekitar delapan warna monokrom. Ketika mereka mampu membedakan hitam dan biru tua, aku tidak mampu melakukannya tanpa dibantu orang lain. Ketika mereka mampu melihat dengan baik di ruang terang maupun gelap, aku hanya mampu melihat dalam kondisi pencahayaan khusus. Cahaya remang adalah sahabat baikku, cahaya terang justru menjadi penghalang bagiku. Pada waktu-waktu tertentu, cahaya yang sangat kuat tak ubahnya musuh bagiku karena membuatku tidak berdaya menghadapinya.

“Hmm… apa, ya? Sepertinya kacamata merahmu.”

“Apakah aku terlihat aneh dengan kacamata ini?” Aku bertanya balik. Ini baru pertama kalinya aku memakai kacamata ini ke kelas. Bila ia menganggap kacamata ini aneh, mungkin aku akan setia dengan lensa kontakku saja untuk hari-hari berikutnya.

Ia mengangguk.

“Maaf jika aku membuatmu tersinggung. Tetapi, kamu sungguh terlihat aneh hari ini. Kacamatanya lucu, seperti kacamata mainan, tetapi kalau kamu yang mengenakannya, kelihatannya aneh.”

Aku mencelos. Harusnya aku sudah mati rasa mendengar kata-kata seperti ini dari orang lain, tetapi rasanya masih sedikit menyengat karena dia yang mengatakannya.

“Padahal aku suka matamu, Dan. Pekat, misterius. Walaupun sepertinya itu pengaruh dari lensa kontakmu.”

Apakah itu sebuah pujian untukku? Ia mungkin tidak sadar bahwa selama ini aku menggunakan lensa kontak yang didesain khusus untuk orang-orang sepertiku.

“Dengan kacamata merah ini, apakah kamu bisa melihat? Kelihatannya gelap sekali.”

“Y-ya, tentu.”

Ya, tentu saja. Kacamata ini tidak segelap kelihatannya, malah membantuku untuk melihat dengan lebih jelas. Semuanya masih terlihat seperti abu-abu dalam berbagai gradasi. Setidaknya, dengan kacamata ini, aku tidak lagi menganggap cahaya terang sebagai musuh yang mustahil untuk ditaklukkan.

“Bolehkah aku mencobanya?”

“Untuk apa?”

“Aku penasaran.”

Sebelum aku memutuskan apakah akan meminjamkan kacamata ini kepadanya atau tidak, gadis itu telah lebih dahulu mengambil kacamataku dari tempat yang seharusnya. Aku masih merasakan sensasi tekanan ringan, seakan kacamataku masih bertengger di atas hidungku, tetapi kebermanfaatan alat itu sudah tidak lagi kurasakan. Lapang pandangku seketika berubah. Objek-objek di sekitarku mengabur, berubah menjadi semacam kabut yang menyilaukan.

Ia mungkin tidak tahu bahwa kacamata itu bukan sekadar kacamata. Menyebutnya seperti kacamata mainan sebenarnya merupakan suatu penghinaan. Alat optik itu membantuku untuk melihat dengan baik di dalam ruangan yang terang. Bukan karena aku penyuka kegelapan, melainkan mataku yang tidak bisa bekerja dengan baik di bawah sinar yang terlalu kuat, seperti di ruang kelas kami yang dibanjiri cahaya putih dari lampu neon ini. Tidak seperti teman-temanku yang nyaman belajar di kelas ini, aku justru merasa terbebani.

Cahaya dengan intensitas yang kuat akan membuat sel batang[1] di dalam mataku kelelahan. Harusnya, sel kerucut[2] yang mengambil alih tugas sel batang pada situasi seperti ini. Akan tetapi, sel kerucutku sama sekali tidak berfungsi, sehingga aku harus menjaga agar sel batang pada mataku tidak cepat lelah. Caranya adalah dengan menurunkan intensitas cahaya yang masuk ke dalam mataku, menggunakan kacamata yang tadinya kukenakan.

Namun, ia telah merenggut kenyamananku dengan keingintahuannya yang begitu murni dan polos. Aku bisa apa? Aku tidak mungkin menghardiknya dengan kata-kata kasar. Lagipula, ia memang tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya.

“Bagaimana? Apakah aku terlihat aneh dengan kacamata merah ini?”

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Sosoknya terlihat menyilaukan dan kabur pada saat yang bersamaan. Merah katanya? Aku tidak lagi mengenal apa itu merah. Harusnya saat ini ia tampak menawan dengan gradasi warna monokromatik, tetapi dirinya, dengan rasa ingin tahu yang tidak tertahankan, telah mengacaukan semuanya.

Aku menggeleng, ragu. Aku harus menjawab apa lagi? Bukankah semua orang, terutama para gadis, tidak senang bila dibilang aneh?

“Boleh kupinjam kacamatamu selama di kelas? Eh, kamu tidak apa-apa?”

Tidak apa-apa bagaimana? Sinar seterang ini membuatku tidak nyaman. Aku terpaksa harus menyipitkan mata untuk dapat melihat. Beri aku tambahan waktu lima menit lagi, mungkin kepalaku akan terasa nyeri luar biasa.

“Boleh kuambil lagi kacamata itu?” Aku akhirnya memberanikan diri untuk meminta kacamata itu kembali. Seandainya saja kacamata ini hanyalah mainan seperti yang dikatakannya, tidak masalah bila ia menggunakannya sampai kapan pun. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.

“Oh, ya, tentu. Ini ‘kan, punyamu,” katanya, terdengar sedikit kecewa.

Mungkin baginya, kacamata merah itu tampak eksentrik, membuat semua orang semakin memperhatikannya. Mungkin baginya, kacamata merah itu membuat lapang pandangnya menarik karena mengubah semuanya berubah warna menjadi gradasi merah. Namun, bagiku, tidak demikian halnya. Kacamata ini adalah kegelapan di dalam cahaya. Aneh, bukan? Saat orang lain bersusah payah mencari cahaya di dalam kegelapan, aku malah mencari kegelapan di dalam cahaya.

“Ngomong-ngomong, Dan, apa sih istimewanya kaca mata itu? Kenapa kamu senang memakainya?”

Senang, ia bilang. Kalau saja aku tidak terlahir seperti ini, tentu aku tidak akan senang menggunakannya. Dari yang awalnya suatu keterpaksaan, kini aku menganggapnya sebagai kebutuhan yang esensial, bersanding dengan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kacamata ini, aku hanya bisa mengurung diri di rumah dengan penerangan yang bisa kusesuaikan dengan kebutuhanku. Tanpa kacamata ini, aku tidak bisa beradaptasi dengan mereka yang menggandrungi cahaya terang untuk belajar dan bekerja.

“Hmm, biasa saja. Kacamata ini seperti kacamata lainnya, alat bantu untuk melihat lebih jelas.”

Memang seperti itu kenyataannya. Kacamata ini hanyalah alat bantu. Yang membedakannya dengan kacamata lain adalah desain dan cara kerjanya, juga orang yang menggunakannya.

“Tetapi kemarin-kemarin kamu tidak menggunakannya.”

“Kemarin-kemarin aku menggunakan lensa kontak. Aku tidak sempat memakainya tadi karena buru-buru, takut terlambat masuk kelas.”

Dahi gadis yang ada di hadapanku ini berkerut seketika. Aku ingin tahu apa yang ia pikirkan. Apakah ia sedang menyusun pertanyaan baru? Aku mungkin tampak seperti objek penelitian yang menarik baginya.

“Dan, maaf kalau aku terlalu banyak bertanya. Tetapi sebenarnya apa yang kamu lihat dari balik kacamata itu?”

Oh, haruskah aku mengakui semuanya di hadapannya? Aku bisa membual dan berkata bahwa yang kulihat adalah paras cantiknya yang terlihat begitu jelas. Bibirnya yang berwarna merah muda dan segar. Matanya yang bulat, dan jernih dengan iris berwarna coklat tua. Wajahnya yang menawan. Tangannya yang gemulai. Kulitnya yang kuning langsat. Rambutnya yang hitam dikuncir kuda.

Atau…

“Semuanya… tampak abu-abu bagiku,” jawabku akhirnya, separuh tidak yakin.

Mungkin ini belum saatnya. Mungkin belum saatnya ia harus mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Memangnya dia akan menganggap kondisiku ini sesuatu yang lumrah? Bagaimana jika ia memandangku sebelah mata setelah ia mengetahui bahwa aku berbeda dengannya?

Namun, Nana sangat baik kepada semua orang. Mudah-mudahan aku bukan termasuk dalam daftar pengecualian.

“Abu-abu dalam artian tidak jelas dan membosankan? Atau abu-abu dalam artian sebenarnya?”

Sepertinya, tidak ada salahnya aku berterus terang kepadanya. Lagipula, mendengar pertanyaannya yang bertubi-tubi seperti itu, membuatku lelah juga. Lebih baik bila ia tahu semuanya sekalian.

“Dalam artian sebenarnya. Tetapi, dengan kacamata ini, aku setidaknya bisa melihat warna merah dengan lebih baik. Meskipun tentunya tidak seperti warna merah yang kamu lihat.”

“Tunggu, apakah itu berarti… kamu tidak bisa melihat warna lain, Dan?”

Aku mengangguk yakin. Keputusanku sudah bulat. Ia menjadi orang pertama di kelas ini yang mengetahui keadaanku yang sebenarnya.

“Oh!” Ia tampak sangat terkejut. “Jangan bilang kalau kamu buta warna-“

Achromatopsia[3],” jelasku sembari tersenyum.

fin

 

Catatan kaki:

[1] sel berbentuk batang yang berfungsi menerima cahaya. Bekerja dengan baik dalam keadaan gelap atau kurangnya cahaya.

[2] sel berbentuk kerucut yang berfungsi dengan baik dalam keadaan terang. Sel ini berperan penting dalam penglihatan warna.

[3] Secara sederhana berarti buta warna total. Penderitanya hanya bisa melihat segala sesuatu dalam gradasi warna abu-abu atau keabu-abuan. Biasanya dialami oleh laki-laki. Dalam cerita ini, Dani menderita complete achromatopsia, yang terjadi karena sel kerucutnya sama sekali tidak berfungsi.

Author’s note:

  • Sebenarnya topik achromatopsia ini asing buatku. Aku hanya mengandalkan penelusuran sumber-sumber yang ada di internet. Tentu saja, pemahamanku tidak bisa disandingkan dengan mereka yang mendalami bidang kedokteran, khususnya kedokteran mata, atau cabang sains lain yang terkait. Aku akan sangat senang menerima koreksi jika informasi yang kusampaikan dalam cerita ini tidak tepat.
  • Aku merasakan ada sesuatu yang ingin kusampaikan tetapi tidak bisa tersampaikan dalam cerita ini. Aku minta maaf jika cerita ini seakan kurang tuntas atau apa.
  • In case kalian tertarik, berikut ini adalah sumber yang kugunakan untuk mengerti sedikit tentang achromatopsia:
  • Ilustrasi cerita kuambil dari Pixabay dan kuubah seperlunya.

10 thoughts on “[Writing Prompt] Achromatopsia

  1. dhila_アダチ says:

    Hampir mengira endingnya si cowoknya brpura2 kalau dia buta warna total. Hahahaa..
    Tp emang, sih, aku bakal nanya sekompleks itu ke cowok yg buta warna. Apa sih yg dia liat, gmna sih rasanya, masih bisa mnikmati lukisan atau film, bgitulah ._.
    Okee, as always ceritanya kece, informatif a la kakak..uhuhu…sukaa 😀

    Liked by 1 person

    • aminocte says:

      Lho, malah nggak kepikiran endingnya seperti itu..haha. Makasih banyak ya, kayaknya memang achromatopsia ini bikin penasaran karena jauh dari apa yang biasanya kita lihat.

      Like

  2. Ms. Pang says:

    “Oh!” Ia tampak sangat terkejut. “Jangan bilang kalau kamu buta warna-“
    “Achromatopsia[3],” jelasku sembari tersenyum.

    I love how calm he’s dealing with his problem in the end, tbh ‘buta warna’–sounds so kasar yha padahal ngga juga…deula aku emang sensian anaknya (slaps)
    Kuterbawa suasana huhu maafkan dan itu berarti kemasan kak ami dalam menyampaikan sudah enak dan santai ❤

    Informasinya ku-noted, Ka Ami!!! Thankies a bunch ❤

    Like

    • aminocte says:

      Halo, Kak Pang, makasih sudah baca. Iya, aku mungkin nggak bikin dia merasa seperti korban takdir gitu ya, mungkin karena sumber yang aku baca menceritakan orang yang sudah matang dalam memahami permasalahannya. Thank so much kakpang ❤

      Liked by 1 person

  3. S. Sher says:

    Aku baru tau nama buta warna yang abu-abu itu Achromatopsia (super sekali aku pusing bacanya, malah inget laba-laba (harap maklum aku musuhan sama pelajaran bio & kesehatan)). Pingin deh bisa nulis yang berbau sama bidang kita kayak ini :”)

    Dan selalu ciri khasnya kak ami adalah, ngasih info, seenggaknya ngasih pesan, atau ngingetin kita terhadap sesuatu :”” sangat bermanfaat baca tulisan kak ami emang ya. Tapi aku masih penasaran apa reaksi dan sikap ceweknya abis ini dan besok-besok LOL.

    Terus nulis kak ami!

    Liked by 1 person

    • aminocte says:

      Laba-laba…Arachnida? 😀
      Hai, Sher, aku yakin cepat atau lambat kamu bakal bisa menulis sesuatu yang terkait dengan bidangmu. Aku juga dulunya nggak pede, padahal ada basic. Malah menghindar dari topik-topik serius yang sebenarnya potensial untuk dijadikan cerita. Huhu, sekarang aku menyesal~~
      Aku juga ada rencana mau membuat reaksi cewek itu, tetapi nggak kebayang adegannya bagaimana. Yang jelas, mungkin dia speechless.
      Sama-sama, Sher. Terus menulis juga yaa 🙂

      Like

  4. aminocte says:

    Wah, iya, ya, Kak? Padahal aku nggak yakin dengan tulisan yang ini, tapi nggak tahu alasannya. Siaap Kak, akan segera diperbaiki. Terima kasih Kak Put 🙂 keep writing juga yaa

    Like

  5. fikeey says:

    wah miii aku pernah kepikiran mau ngangkat tema penglihatan abu abu inii haha tapi lebih ke jalan cerita dan jatohnya bakal fantasy sih xD aargggh dan kamu datang dengan fiksi yang informatif bangeeet. infonya ku-noted semua yah mii, jadi sambil belajar. pengemasannya enak, aku suka hehehehe. dan favorit pas bagian si dan dengan tenangnya bilang penyakitnya itu ke nana hehe. sukaaaa bgt bagian itu. keep writing yah mii!! ❤

    Like

  6. O Ranges says:

    like Ms Pang, I love how calm Dan regarding his response to what Nana said.
    “Oh!” Ia tampak sangat terkejut. “Jangan bilang kalau kamu buta warna-“
    is just too blunt on my opinion. but then again, she’s probably too surprised to handle them in more delicate manner.

    really love your writing, kak ami 🙂 ❤
    infonya titan catet, kak. thanks a bunch yah ❤ ❤ ❤

    Like

Leave a comment