Sewindu
Delapan tahun berlalu. Yang kuingat hanya pertemuan ajaib kita yang terbingkai dalam satu kata: hujan.
—
Sewindu yang lalu, hujan jatuh membasahi bumiku. Bernaung aku mencari perlindungan, demi menjaga kesehatan karena flu selalu menyerangku apabila air itu menguyupkanku. Kata sebagian orang, hujan adalah berkah tak ternilai, dan mereka dengan wajah bahagia menerobosnya. Mereka bilang, itu nikmat Tuhan, takkan membuat sakit. Tapi, omongan orang hanya akan jadi omong kosong belaka. Buktinya, badanku marah-marah ketika aku terpaksa melakukannya.
Sewindu lalu, halte itu yang kudatangi untuk meneduhkan diri. Halte tempat subway berhenti dan menawarkan tumpangan dengan beberapa koin sebagai bayaran. Aku hanya seorang gadis SMA saat itu. Pertama kali masuk pula. Bajuku basah sebagian saat berlari menuju halte. Dan, untuk pertama kalinya, ketika kutolehkan kepala, aku merasa hujan memanglah berkah.
Seperti apa yang dikatakan orang-orang. Itu bukan bualan belaka.
Karena di hujan bulan November, sewindu yang lalu, aku bertemu dirimu. Dengan jaket hitammu, menjulang di hadapanku, untuk kemudian kuketahui sebagai kakak tingkatku.
Karena hari itu, delapan tahun yang lalu, untuk kesekian kalinya aku merasakan jantungku berdetak kencang. Tapi, itu untuk pertama kalinya aku mengerti, cinta pada pandangan pertama bukanlah bualan. Orang-orang tidak sebodoh itu untuk berbohong dengan lidahnya, apabila mereka memang tidak pernah merasakan.
Karena pada hari yang hujan itu, aku menemukanmu. Dengan nama dada: Respati.
***
“Lupa bawa payung lagi, Din?”
“Mati beku aja nungguin bus, Din. Hobi kok lupa.”
Teman-teman satu kubikel kerja tertawa bersama melihat raut wajahku sudah serupa baju tak disetrika. Lagi pula, ini juga salahku, selalu saja ceroboh. Banyak hal-hal yang terlewat sebelum aku berangkat kerja, contohnya: aku lupa menonton channel prakiraan cuaca.
Padahal, sudah lazimnya seluruh penduduk kota ini mengandalkan prakiraan cuaca sebelum memulai aktivitas mereka. Tapi, aku masih setia pada tradisi lama—prakiraan cuaca tak sepenuhnya dapat dipercaya, dan malas menyentuh remot televisi pagi-pagi.
“Ya sudah, kita duluan, ya, Din. Kalau males nonton TV tuh, mbok ya diunduh aplikasinya via ponsel. Jaman ‘kan udah canggih.”
Aku hanya mengangguk kaku. “Ya, deh. Lain kali aku download.” Lain kali dari zaman batu.
Hujannya semakin deras satu jam kemudian. Sepertinya memang aku harus menerobosnya, daripada tidak juga pulang. Masa bodoh bajuku basah ketika sampai halte nanti. Masa bodoh besok flu.
Ketika aku baru akan beranjak, sebuah suara menginterupsiku.
“Aku bawa payung dua, kamu mau pinjam?”
Kutengok kanan. Seketika lelaki dengan senyum itu berada di hadapan, menyodorkan payungnya. Demi tak memudarkan senyum manis itu, kuterima juga payungnya.
Berharap dapat menutupi tanganku yang bergetar tidak jelas, kuucapkan, “Terima kasih. Besok … kukembalikan.”
Dia mengangguk sebelum kembali ke kursi kerjanya, berkutat dengan komputer lagi. Sepertinya lembur.
Sebelum keluar ruangan, kutoleh sekali lagi sosok tegapnya dari belakang. Mungkin, mukaku bersemu karena ingat sewindu yang lalu.
Ya, sosok itu adalah dirimu. Yang kutemukan lagi dalam hujan bulan November, setelah sewindu pergi meninggalkanku. Keajaiban yang tak pernah kubayangkan sedikit pun dalam hidup.
Karena sewindu yang lalu, hingga habis masa sekolahku, tak sedikitpun aku dapat menyapamu. Hanya ekor mataku yang meliuk melirikmu, atau kita bertukar pandang sejenak. Mungkin, aku hanya satu dari sekian siswa yang pernah beradu tatap denganmu secara tidak sengaja. Tidak ada yang istimewa, bukan hal yang spesial.
Namun, setelah delapan tahun yang panjang di hidupku, dengan baik hatinya Tuhan menghadirkanmu dengan begitu mendadak.
Jantungku mungkin hampir melompat saat melihatmu duduk di dekat kubikel kerjaku sebagai karyawan baru. Dalam divisi yang sama. Dalam obrolan yang sama. Dalam program kerja yang sama, bekerjasama berusaha bekerja sebaik mungkin untuk hasil yang memuaskan atasan.
Yang sama hanya dua: namamu—Respati, dan pertemuan kita—bulan November, musim hujan.
Selebihnya, akhirnya aku tahu dirimu yang sesungguhnya.
Ke mana selanjutnya cerita ini dibawa? Biarlah Tuhan yang mengaturnya, selagi kusebut kamu dalam barisan doaku di tengah gulita.
—fin.
saya selaluuuu suka cerita soal cinta pertama. mungkin karena itu juga mengingatkan soal cinta pertama saya hwehehe
LikeLiked by 1 person
Haha iyaa, saya juga sih. Makasih komentarnya yaa ^^
LikeLike
aww, ini manis2 tragis. hujan emang punya romansa tersendi. meskipun kenyataannya jarang bnget hehe aku suka kalimat terakhirnya. . . ‘selagi kusebut kamu dalam barisan doaku di tengah gulita’
LikeLike
Iyaa aku suka banget sama doa yg disebut diam2 buat si dia, sih hehe. Manis aja gitu xD
Makasih komentarnya kak ^^
LikeLiked by 1 person
yap, sama2 niswa 😉
LikeLike
waaaah niswaaa x)) btw aku baru baca ini tadi pagi, pas lagi ujaan hahaha pas banget xD aku sukaaa suasananya. emang yha yg namanya cinta pertama mah susah dilupakan di mana mana juga wkwk. apalagi kalo yg namanya cinta pertama dan terakhir (#galaualert). scene favorit… pas dianya nawarin payung waaaah ambyar aku di situ bacanya. manis banget ceritanyaa ihiiiw. keep writing yah niswaa! 😀
LikeLike
Waah iya pas banget. Tadi pagi ga hujan di tempatku wkwk xD
Makasih komentarnya kakak ^^
LikeLike
“Ke mana selanjutnya cerita ini dibawa? Biarlah Tuhan yang mengaturnya, selagi kusebut kamu dalam barisan doaku di tengah gulita.” — Ini sweet banget ya duh Titan tersepona x))
Suasananya juga bikin lumer ❤ Lumer dan baper. Hahah :"
LikeLiked by 1 person
Ahaay akhirnya tersampaikan juga kebaperannya. Anyway thanks udah nyempetin baca dan komen ya ❤
LikeLiked by 1 person
Suka sekali!
Cerita tentang love at first sight emang selalu manis, nggak bisa dilupakan, dan istimewa aja 🙂
entah itu erakhir bahagia, gantung, atau gimana…. Aaaaa pokoknya aku suka. Hebat banget!
LikeLiked by 1 person
Hehe iyaa apalagi ketemunya pas hujan-hujan gitu jadi makin manis kaan ;3 trima kasih sudah baca dan komen yaa~
LikeLiked by 2 people
hahhahahahahahahahahhahaha firstly first, aku mau ngaku pas kelar baca tetiba aku kebelet ngaminin cerita ini–entah kenapa
abise ini sweetnya tuh asik ngalir gitu aja dan buat aku pribadi rasanya takarannya masih pas dan (menurutku) rasional. Ya. Itu kenapa aku suka cerita iniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii XD
Overall aku suka (BANGET) sama karakter cewenya yang kalem dan teduh banget rasanya waw
Keep writing, Niswa!
LikeLike
Ahahahai kak pang bisa aja, kupikir apanya yg lucu sampe ketawa segitunya ihh xD
Waah, ngga nyangka ada yg suka sama development chara seklise si cewe ehe ehe. Makasih komennya, keep writing too!!
LikeLiked by 1 person