Yogy Akarta

 

“Seperti de javu, jantungku berdegup begitu kencang saat mata kami bersirobok.”

by Primrose Deen

© 2016

Photo © Damaris

Namanya Yogy. Alfabet terakhirnya adalah “y”, bukan “i”, lantaran dipetik dari nama lengkapnya—yang menurutku superkeren—Yogy Akarta. Berhakikat dari namanya, tak pelak bahwa ia memecah tangisnya di semesta ini untuk kali pertama di tanah Yogyakarta, berbarengan dengan hari jadi sang kota pelajar.

Wajahnya dapat dikategorikan sebagai wajah yang biasa-biasa saja, pun penampilannya tak disponsori oleh baju-baju branded yang sedang tren di kalangan juvenil. Tapi ia masuk hitungan sebagai kakak tingkat yang akun Instagram-nya pantas untuk dimata-matai. Ia menggandrungi kemeja bermotif kotak-kotak atau kemeja yang berwarna gelap di hari yang lain. Celana jeans selalu menjadi penyelamatnya dari segala jenis atasan yang ia kenakan, lengkap dengan keds yang warna originalnya beranjak memudar.

Tingginya sepuluh sentimeter lebih tinggi daripada tubuhku. Kulitnya yang kecokelatan secara tak langsung menuturkan tentang hobinya dalam mengeksplorasi alam—seringnya gunung—dan mengurungnya secara abadi secara dua dimensi dalam kamera yang setia menggelayuti lehernya yang dipenuhi peluh. Iris matanya yang senada dengan warna kokoa selalu tampak berkilat-kilat dipenuhi semangat layaknya kawula muda yang produktif. Surai eboninya yang sedikit kusut dan acak-acakan ia biarkan menari di pundaknya. Pada momen-momen tertentu, ia akan menyatukannya dengan rapi di belakang kepalanya. Kumis yang melintang di bawah hidung mancungnya secara tipis-tipis turut bergerak kala rahangnya yang tajam sedang naik-turun bersamaan dengan pipinya yang kimpus karena sering begadang demi merampungkan tugas-tugasnya.

Yogy tergolong anak cengengesan dengan image mudah bergaul yang begitu lekat dalam dirinya. Vokalnya selalu dalam desibel tinggi, sehingga acapkali ia salah disangka sedang marah-marah ketika berbicara dengan biasa saja—menurutnya. Logat Jawa begitu kentara terselip dalam tiap-tiap silabel perkataannya, namun cakupan relasi pertemanannya tak terbatas pada pribumi Jawa saja. Ia dapat dengan mudah menghabiskan berjam-jam nongkrong bersama anak-anak ibukota maupun yang datang dari pelosok. Rahasianya sederhana; Yogy memiliki retorika dan selalu membawa serta kelakar yang sanggup menghidupkan atmosfer di sekitarnya. Kendati tampak seperti anak yang gandrung keluyuran semalaman, Yogy tak pernah menyurutkan barang setitik pun kobaran semangatnya untuk lekas menggapai gelar sarjana teknik arsitektur dalam waktu sesingkat mungkin disertai indeks prestasi yang cukup membuatnya dihujani ucapan selamat. Syukur-syukur bisa cumlaude.

Aku? Aku hanyalah seorang observer dari seorang Yogy Akarta sejak aku masih menimang status sebagai mahasiswa baru. Kendati demikian, konversasi pertama baru terjadi setelah aku menjadi mahasiswa semester tiga dan—tak disangka-sangka—berlangsung di Shopping Centre. Bagi kawula awam, tempat ini mungkin terdengar bagai surganya baju, tas, sepatu, maupun barang-barang mahal lainnya. Faktanya, bangunan yang terletak di sebelah selatan Pasar Beringharjo dan sebelah timur Benteng Vredeburg ini termasyhur seantero Yogyakarta lantaran menjadi pusat pewujud asa bagi pemburu buku-buku secondhand yang masih dalam keadaan apik kendati baunya sudah banyak yang apak.

Kala itu, ia mengumpulkan surainya menjadi satu ikatan di belakang kepala yang akan bergerak-gerak setiap kali ia menoleh. Dengan drafting tube yang tersampir di pundak kanannya, jelas ia sedang dalam masa penggarapan proyek di kertas berukuran jumbo sebagaimana yang anak-anak teknik lakoni pada umumnya. Ia menebar pandangan ke rendengan novel-novel fantasi berbahasa Inggris. Dari situ aku baru tahu bahwa ia pula menaruh hati pada buku-buku semacam ini.

Kami terseparasi beberapa langkah saja, sehingga aku mampu mendengar ia menggumam—kendati aku tak dapat mendengar dengan jelas inti dari gumamannya. Ekor mataku segera memberi laporan kepada otakku kala indra pandangnya mengarah kepadaku. Runguku menajam kala suara yang lahir dari langkah keds-nya semakin mendekat.

“Cari novel fantasi juga?”

Vokalnya berat, cenderung sedikit serak.

Aku mengangkat pandangan, menemui kedua pupilnya yang sedari tadi menunggu untuk disambut. “Ah, iya, Mas.”

“Novel apa?” Kali ini netranya terfokus pada buku-buku yang dijamah oleh telapak tangan lebarnya.

“Kebanyakan trilogi, sih. The Bartimaeus Trilogy, His Dark Materials Trilogy—”

“Wah, kebetulan aku punya The Bartimaeus Trilogy, lho. Mau pinjam?”

“Boleh?”

Dia tergelak. Gigi-giginya yang agak kuning membuat otakku mencetak konklusi bahwa ia gemar menyumpalkan lintingan tembakau ke mulutnya dan atau menyesap kopi nyaris setiap hari. “Kenapa nggak?”

Berlagak sedikit tak acuh—dan malah berujung kelihatan goblok—aku hanya melontarkan tawa garing, ayal bahwa dia benar-benar serius pada setiap kata yang ia tuturkan barusan, dan dia dengan cepat menangkap kebimbanganku terhadap tawarannya.

“Wah, kamu kira aku cuma guyon?”

“Memangnya beneran?”

Ia menganggukkan kepalanya mantap bak tentara yang mendapatkan titah dari atasannya. Ia menawarkan tali pertemanan melalui tangannya yang terangkat di udara sembari menerbitkan kurva di bibir tipisnya. “Yogy. Yogy Akarta.”

Aku menyusupi jemarinya, membiarkan tali itu mengikat kami lebih karib. “Flora Casuarina.”

Persuaan kedua terjadi kala ia bertandang ke indekosku dengan Vario-nya dan mengajakku ke angkringan di sekitar rel Stasiun Tugu yang kondang lantaran kopinya yang ditenggelami arang menyala. Sesuai ekspektasiku, ia membakar ujung lintingan tembakau menthol-nya setelah memesan dua gelas kopi jos—demikian orang-orang menyebutnya—lantas mengeluarkan ketiga seri buku dari The Barimaeus Trilogy dari ransel hitamnya yang jahitannya sudah amburadul di beberapa bagian.

Sorry, di bagian tengahnya nggak sengaja keberedel.” Dia menunjuk bagian tengah novel yang beberapa halamannya sedikit mencuat keluar barisan setelah menandaskan seperempat isi gelasnya.

“Nggak apa-apa, Mas. Makasih, ya.”

Dan sisa dari malam itu pun dikonteni dengan konversasi yang kebanyakan bertopik seputar buku-buku yang kebetulan sama-sama kami sukai. Seleraku dan seleranya terhadap buku bisa dibilang berbanding sebelas-dua belas, sehingga ketika waktu melangkahi tengah malam, rasanya bagai sekejap mata saja. Sesekali suara tawanya berbaur dengan deru kendaraan dan keramaian yang berkeriap di Yogyakarta.

Konversasi itu berlanjut di pertemuan-pertemuan selanjutnya yang mayoritas ber-setting di angkringan ini pula sesekali berlokasi di bangku-bangku pinggiran Jalan Malioboro. Cerita yang ia tuturkan bersama kepulan asap menthol dari mulutnya pun beraneka ragam, seperti arti di balik keunikan namanya, hobinya, rasa cintanya kepada kopi arang yang lebih besar dibandingkan kopi-kopi mahal di kafe, pengalamannya bergabung dalam klub debat berbahasa Inggris selama beberapa bulan, dan ketidaktahuannya mengenai keberadaanku sebagai adik tingkatnya. Tak jarang ia mengatakan sepatah-duapatah kata dalam bahasa Jawa, membuatku membeliak-menyipitkan mata, menimbulkan gelegar tawa yang nyaris memecah jalanan Malioboro.

Pertemuan yang nyaris terjadi secara rutin selama tiga kali dalam seminggu itu terhenti setelah di belakang namanya terbubuhi embel-embel S.T. lantaran ia harus mulai menapaki level baru dalam hidupnya di ibukota.

Menimang status sebagai mahasiswa tingkat akhir—atau pula disebut mahasiswa angkatan tua—sama sekali tak melesapkan antusiasmeku mengeksplorasi tempat ini. Shopping Centre mahir dalam memahami status finansial seseorang, terutama kala kantung-kantung mahasiswa sedang kempis-kempisnya. Kali ini aku berburu novel-novel The Girl With The Dragon Tattoo Trilogy yang belum masuk dalam daftar kepemilikanku. Beberapa bulan terakhir ini, seleraku menukik dari genre fantasi ke genre thriller, entah mengapa.

Tiba-tiba saja indra runguku terdistraksi oleh derap pantofel yang kian waktu kian lantang di telinga. Aku mencuri pandang melalui ekor mataku dan mendapati jungur sepatu yang agaknya disemir mengilap dengan telaten setiap harinya sedang berdiri beberapa jengkal dari tempatku tergeming. Aku mengumpulkan keberanian untuk mengangkat pandanganku lebih tinggi, lantas kudapati tubuh si pemilik sepatu mengkilap yang dibalut oleh kemeja putih yang lengannya dilipat sebatas siku dan celana kain berwarna hitam. Kukumpulkan keberanian lebih banyak lagi, dan kali ini netraku membingkai fitur wajah yang begitu familier namun dalam versi yang telah di-upgrade; rambut yang disisir klimis di sebelah kiri mengekspos dahinya yang belum menunjukkan kerutan. Kumis tipis yang biasa tercetak di bawah hidung mancung itu kini lenyap entah ke mana. Pipi yang dulu kimpus berganti menjadi wajah segar yang didukung oleh senyum yang tersungging di bibirnya. Seperti de javu, jantungku berdegup begitu kencang saat mata kami bersirobok.

“Kenapa, Ra? Apa gara-gara udah nggak ketemu aku bertahun-tahun, aku jadi kelihatan tambah ganteng?”

Perasaanku bertempiar berbarengan dengan akal sehatku yang tiba-tiba tak bekerja dengan becus. Kedua mataku membeliak-menyipit, masih belum terbiasa dengan pemandangan yang sama namun berbeda ini.

Menyaksikan ketololanku, ia hanya tertawa. Suara tawanya tak berubah sedikit pun. Masih ramah di lorong pendengaranku. “Sekarang udah beralih ke thriller?” Ia mengerling ke buku yang ada di tanganku, lantas kembali mengunci manik mataku dalam irisnya.

“Eh, iya, Mas Yogy.”

“Iya yang mana nih?”

Aku hanya mengerdikkan bahu, mulai tahu arah candaannya yang kelewat percaya diri. Kendati ada benarnya juga, sih—kalau dia tambah ganteng. “Iya deh, yang sekarang udah jadi anak metropolitan.”

Ia tergelak singkat sebelum akhirnya membungkam kinerja otakku lagi, “Nanti malam mau ke angkringan lagi, nggak? Kangen Yogyakarta. Juga kangen kamu.”

end.

Notes:

  1. Pertama kalinya ikut prompt Namanya dari Sher. Bawaannya senewen soalnya semua yang ikut prompt dia tulisannya bagus-bagus. 😦
  2. Casuarina diambil dari nama latin Cemara, Casuarina equisetifolia. Awalnya mau ambil nama spesiesnya, tapi kayanya terlalu ribet buat dijadiin nama haha.
  3. Makasih buat Sher atas rekomendasi buku-bukunya ke salah satu anon di ask.fm-nya. Aku jadi ikutan nyari buku itu dan kumasukin di cerita ini juga. Haha.

6 thoughts on “Yogy Akarta

  1. jungsangneul says:

    Weheee ending-nya manis sekalii aku suka aku suka ❤ Gatau kenapa terbayang seseorang yg kukenal ketika baca deskripsi si Yogy ini ehehe. Anyway, ada koreksi dikit ya, mengkilap harusnya 'mengilap' 🙂

    Keep writing Kak Ari ^^

    Like

  2. futureasy says:

    wow kak Ari! Apakah ini kali pertama aku mampir di fic kakak? Kalau iya, KAKAK AKU TAMENYESAL MEMBACA INI KARENA:

    1. Suka banget sama deskripsinya!
    2. Suka banget sama pemilihan bahasanya!
    3. Suka banget sama Yogy-Flora!

    ini manis dan sangat college-ish. aku juga jadi dapet pengetahuan baru tentang yogyakarta 😉 bythewtay aku jadi kepengen ke Shopping Centre-nya, deh:( Ohiya, kak! Sekadar koreksi, ada kata ‘setting’ yang belum kakak italic di atas. Terus jumlah kata dalam satu kalimat juga ada yang banyaaak banget sampe aku (kalo bacanya sambil ngomong) mungkin keabisan napas X) Tapi terlepas dari itu fic ini cantik! ❤ ❤ ❤

    p.s : makasih kak Ari aku jadi tau kalo Tari punya open prompt X) 🙂 😉 :*

    Like

    • Primrose Deen says:

      Kayanya sih enggak …. Tapi entahlah. Heu. That’s okay anyway. XD

      Hahaha ayo main ke Yogyakarta, Dhil! Yogyakarta itu indaaah, kaya kamu. 😝 hEHEH
      Wah, iya. Luput dari koreksi. Makasih banyak, ya, Dhiluuuu! Luv luv ❤

      Tari sering kok bikin open prompt (dan kebanyakan seru-seru!). Sama-sama, Dhil~ ❤❤❤

      Liked by 1 person

Leave a comment