Mi Rebus Instan

by dhila_kudou

Pic source :  here

Jika sebagian orang-orang menganggap masa SMP adalah masa yang menyenangkan, maka bagiku adalah sebaliknya. Bayangkan, teman yang hampir kuanggap sahabat sendiri malah memanfaatkan kepintaranku semata. Ups, maaf, bukannya mau menyombongkan diri, tetapi begitulah kenyataannya.

Aku bertemu dengannya pertama kali tahun ketigaku di SMP. Kami teman sekelas. Dia penasaran dan bertanya kepadaku mengapa selalu sendirian saat jam istirahat. Memang selama ini aku tidak peduli punya teman atau tidak. Yang terpenting buatku adalah belajar sungguh-sungguh agar bisa mendapat peringkat terbaik di kelas. Tentu aku tidak memberitahu ambisiku tersebut. Aku hanya berdalih bahwa aku hanya tidak ingin berteman dengan siapapun.

Dia pun berbicara panjang lebar, sepertinya mencoba menyadarkanku tentang betapa pentingnya mempunyai seorang teman dekat. Dia juga ingin aku menjadi temannya. Tak hanya itu, dia juga memancingku dengan mengeluarkan ponsel canggihnya ke arahku.

“Aku yakin kamu belum pernah memainkan ini. Seru banget lho!”

Lagi pula, kapan lagi bisa menikmati kebiasaan lazim anak-anak SMP lainnya kalau bukan sekarang. Aku mulai berpikir bahwa mungkin sudah saatnya aku melonggarkan aturan yang kubuat sendiri. Aku juga ingin sedikit tak acuh dengan kegiatan belajarku di kelas.

Semenjak itu, ia selalu meminjamkan ponsel canggihnya kepadaku. Begitu banyak games yang bisa kumainkan di dalamnya sehingga lama-kelamaan membuatku kecanduan. Belum lagi dia mulai mengenalkanku dengan mi rebus instan dengan mentraktirku di kantin sekolah.

Banyaknya kebaikan yang dia berikan membuatku mulai mengakrabkan diri dengannya. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena menjelang ujian semester, dia mulai mengajariku sesuatu yang sesat: cara memberi contekan agar tidak diketahui pengawas. Dia mengajakku untuk bekerja sama. Tentu saja aku tidak mau menuruti permintaannya. Masa bodoh, aku mengabaikan setiap tendangan kakinya pada kursiku saat ujian berlangsung. Aku mulai menjauh darinya sejak mencium gelagat buruknya itu.

Benar saja. Pada semester berikutnya kami seperti orang asing. Dia mulai berteman dengan orang yang selalu ia jelek-jelekkan di setiap sesi gosip denganku sebelumnya. Melihat kelakuannya yang berbalik seratus delapan puluh derajat itu membuatku tak habis pikir. Yang jelas, aku juga tidak pernah makan mi rebus dan bermain games di ponsel lagi. Aku enggan membuat teman baru di kelas untuk menggantikan posisinya. Tak masalah, dengan begitu aku bisa fokus dengan persiapan ujian nasional.

Tak terasa, hari pengumuman kelulusan pun tiba. Semua orang bersuka ria kecuali satu orang. Awalnya aku tidak peduli, tetapi ketika aku berpapasan dengannya sempat kulihat matanya memerah dan tangannya hendak meraih tanganku. Aku mengabaikannya sambil terus berjalan ke dalam kelas.

Sesampainya di tempat duduk, aku mendengar semua orang ramai memperbincangkannya. Hal yang mencengangkan yang sempat kudengar adalah kabar tentang dirinya yang tidak lulus ujian nasional. Kata orang-orang, dia kena kualat karena masih punya kesalahan denganku. Rumornya juga, dia membeli kunci jawaban soal yang salah dari sekolah lain. Meski aku kasihan padanya, aku tertawa jika mengingat cara dia memutuskan pertemanan denganku. Kalian boleh menganggapku tidak punya hati, tetapi tunggulah nanti. Kalian tidak tahu apa yang tengah direncanakannya padaku.

“Lyra, selamat ya, kamu lulus. Dapat peringkat satu pula se-kabupaten. Aku benar-benar bangga sama kamu.”

Itu kalimat pertama yang dia ucapkan ketika menghampiri tempat dudukku. Aku hanya diam sambil terus-terusan memainkan ponsel baru hadiah kelulusan dari ayahku. Merasa diabaikan, dia pun berjongkok di hadapanku sambil meraih kedua tanganku. Aku menyentaknya sedikit kasar.

“Kamu benar-benar marah ya sama aku?”

“Menurutmu?” tanyaku dengan nada yang sangat datar.

“Aku sungguh minta maaf, Lyra. Aku benar-benar menyesali perbuatanku kepada kamu dan teman-teman yang lainnya. Mereka boleh tidak tulus memaafkanku tetapi aku mohon kamu bersedia memaafkanku.”

Aku mengetuk-ngetukkan jariku tak sabar di sisi ponselku. Kalau kupikir-pikir lagi, sebenarnya aku terlalu jahat kalau tidak mau memaafkannya. Yah, kami akan berpisah, untuk apa menyimpan dendam, bukan?

“Aku akan mengajakmu ke rumah untuk pertama dan terakhir kalinya. Kamu sudah lama tidak nyicip mi rebus instan ‘kan? Aku tahu mamamu tidak akan pernah membuatkannya untukmu. Lagi pula, kamu tidak akan diberikan uang jajan yang cukup untuk membeli semangkuk mi instan, ‘kan? Aku akan membuatkannya spesial untukmu. Bagaimana?”

Sial, dia berhasil menebak apa yang tengah kuidam-idamkan sejak lama. Tiba-tiba bayangan kuah mi rebus yang penuh penyedap buatan itu menari-nari dalam otakku. Aku pun mulai tergiur dengan tawarannya.

Sayang sekali, cuaca hari itu benar-benar tidak bersahabat. Hujan turun dengan lebatnya di luar persis setelah kami sampai di teras rumahnya. Angin kencang tiba-tiba saja datang menerjang dan membuat sambungan listrik terputus. Rumahnya mendadak begitu gelap karena diapit oleh dua bangunan tinggi di sisi kanan dan kirinya, membuat cahaya di luar sulit untuk masuk ke dalam. Aku mendadak menyesali keputusanku sebelumnya. Padahal kalau aku bisa mempertahankan egoku dan memilih pulang segera, aku pasti tengah berselimut tebal di dalam kamarku saat ini, menunggu orang tuaku pulang. Peduli amat dengan mi instan buatannya itu.

“Ah, aku hidupkan lilin dulu kalau begitu. Kamu tunggu di sini ya, aku masak minya dulu di dapur.”

“Bagaimana kalau aku bantu?”

“Tidak perlu, kamu duduk di sini aja.”

Baiklah kalau begitu. Aku juga sekadar basa-basi saja, kok.

Selama lima menit menunggu sambil memainkan ponsel tidak jelas, dia pun datang dengan membawa dua mangkuk mi rebus di kedua tangan. Gerakannya yang terlalu terburu-buru karena kepanasan membuat api lilin di hadapanku mati.

“Yah, gimana dong? Mana korek apiku habis lagi.”

Aku mendesah berat, “Kamu sih. Salah sendiri kenapa nggak punya stok korek api yang banyak di rumah. Pakai api kompor aja bisa nggak?”

Dia diam sejenak sambil bergumam panjang. “Bisa sih, tetapi buat jalan ke dapur aja aku susah. Kita pakai cahaya ponsel aja bagaimana?”

“Lampu emergensi pun kamu nggak punya?” tanyaku tak sabar.

“Kalau ada aku sudah menghidupkannya sejak tadi, Lyra. Ya sudah, kita makan aja minya, nanti keburu dingin. Orang tuamu juga mau pulang ‘kan sebentar lagi?”

Aku melirik jam di layar ponselku dan langsung mengerang pelan. Aku hanya punya waktu tiga menit untuk menghabiskan mi rebusnya. Dengan terburu-buru aku langsung menyuapnya ke dalam mulut. Seketika gerakanku terhenti.

Rasanya enak sekali. Dia pasti telah memasaknya dengan sepenuh hati. Aku yakin dia ingin menyuguhkan kehebatannya dalam memasak makanan kesukaanku pada pertemuan terakhirnya denganku. Dan hebatnya lagi, mengapa rasa mi rebusnya seakan-akan menari-nari di dalam lidahku. Benar-benar menari-nari liar di dalam mulutku secara harfiah. Aku heran dan langsung menyorot mangkuk mi rebusku dengan ponsel, memperhatikannya dengan cermat.

Sialan.

“Anggap saja mi rebus ini sebagai ucapan terima kasih karena kamu tidak pernah mau memberikan contekan kepadaku. Padahal kita ini berteman, bukan?”

Sekonyong-konyong kusemburkan isi mulutku. Kubanting mangkok mi rebus abal-abal itu ke arahnya. Dengan amarah yang meluap-luap aku langsung menyambar tas dan bergegas keluar dari tempat terkutuk itu.

DHUAAARRR!

“Lyra?”

Aku masih tercengang dengan suara petir yang begitu kuat barusan. Aku seketika tersadar kalau aku masih di kelas dan temanku yang pengkhianat ini masih berada di depanku menunggu jawaban dariku.

“Bagaimana? Kamu mau ‘kan ke rumah aku?”

Kali ini jawabanku sudah bulat. Daripada dia menyuguhkan mi rebus instan dengan topping cacing, lebih baik aku pulang ke rumah saja.

“Aku tidak mau.”

Yah, walau aku mengidamkan mi rebus instan lebih dari apa pun saat ini, mungkin dengan alasan kelulusanku aku bisa merayu Mama untuk membuatkanku sepulang sekolah. Mamaku tidak mungkin menaruh cacing di masakannya, ‘kan?

THE END

Author’s notes:

  1. Selamat menikmati cerita ini, hehe.
  2. Maaf absurd sekalii, hahaha.
  3. Salam kenal sekali lagi. Aku Dhila, 96 line.

11 thoughts on “Mi Rebus Instan

  1. mitha says:

    Untung yang dicampur ke mie instannya bukan racun dhil, cuma cacing. Kan gak banget kalo baru lulus sekolah gak bisa pulang dan kemungkinan yang pulang cuma raganya. Untung juga semuanya gak terjadi termasuk cacingnya. Pokoknya banyak untungnya lah

    Liked by 1 person

    • Kudou says:

      Halo mitha! 😀
      Aku smpet mikir masukin racun sih, tp takutnya ntar disidang trus ditayangin di tv pula xD /ga/
      Iyaa, untung banget ya mitha, wkwk. Aku suka lovehate dalam hal ngebunuh tokoh utama sih, heuheu. Mgkn ini yg terbaik, eaa.
      Trimakasih banyak ya mitha sudah brkunjung ke cerita inii! 😀

      Liked by 1 person

  2. fikeey says:

    Ampuuuun untung cacing bukan racuuuun heuheu. Itu kenapa psycho banget sih nggak dikasih contekan doang terus dendamnya sampe segitunya ihhhhh. Padahal aku jadi laper btw dil pas liat poster terus pas baca… gajadi laper hahahahaha xD itu seriously posternya menggoda banget abisnyaaa wkwk. Suka ih! Keep writing ya dilaaa hihi.

    Liked by 1 person

    • Kudou says:

      Kak fika haloo kaak! XD
      Wkwkwk, cacing masih agak bergizi soalnya kak *?* iyaa kak, trnyata enak bikin tokoh psycho itu /sesat/
      Aku juga pas nyari gambar bingung soalnya enak2 smua kliatannya, huhu. Smoga kejadian kyk gini gak pernah trjadi ya kak, aamiin X)

      Aku seneeng pisan kalau kakak suka sama cerita inii, trimakasih ya kaak udah brkunjung ke siniii ^0^ keep writing jugaa buat kakak 😀

      Like

  3. Cheery says:

    Pas bagian menari-nari secara harfiah aku kira mi rebusnya kejatuhan cicak masa, kan lampu mati gelap gitu duh aku ngeri sendiri jadinya
    Keep writing ya kak dilaaa!

    Like

    • Kudou says:

      Lah, cicak bisa juga nuruul, kenyel2 gitu juga sensasinyaa *no* *amit2*
      Intinya kalau lg mati lampu jngan mau ditraktir sama temen yang lg musuhin kita, ya. Hihihi /ga/ XD
      Trimakasiih nuruul sudah berkunjung ke sinii, keep writing jugaa buat kamu 😀

      Liked by 1 person

    • dhila.kudou says:

      Aduh, aku jadi gak enak bkin orang ogah makan mie setelah baca ini _=_
      Aku seneng kalau kakak suka cerita ini 😀 Terimakasih ya kak udah dateng kemariii 😀

      Like

Leave a comment