Roda Kesahajaan

roda-kehidupan-terus-berputar

Roda Kesahajaan

(mini event: truk pantura)

New fear the me is three (read as Nyupir demi istri)

by Niswahikmah


Ayahku juga pernah melakukannya. Duduk di belakang kemudi berjam-jam untuk mengejar setoran. Mengelap peluh di bawah pohon sambil menyesap es yang dibeli di tengah jalan. Kelelahan karena penumpang sepi akibat kebijakan-kebijakan bodoh pemerintah. Termasuk berpenyakit ambeien karena terus-menerus duduk menghalau debu jalanan bersama para penumpangnya yang hilir mudik, bahkan ada yang jadi langganan juga.

Namun, kini ayah tidak perlu lagi melakukannya. Beliau lebih sering bercengkerama di rumah bersama anak istrinya. Kejar setoran tetaplah dilakukan, namun dengan mobil armada pribadi, itu bisa dilakukan secara lebih fleksibel. Ayah tidak berkata ia telah sukses, tapi ini adalah buah dari kesabarannya bertahun-tahun menghidupi keluarganya dari balik kemudi. Usahanya pun bergerak di bidang kemudi. Kalau kata ibu, itulah rute hidupnya ayah.

Nasib yang telah membaik ini seakan terbalik jika dibandingkan dengan kondisi keluarga pamanku. Roda hidup memang berputar. Apa yang dilakukan ayah itu sekarang mesti dilakukan paman.

“Keluarganya bangkrut, Dek. Sekarang beliau jadi supir angkot. Makanya, Ayah ngutangin mereka uang segitu banyak. Nolong saudara itu kan wajib.” Itu yang ibu bilang padaku ketika bertanya soal keluarga paman.

Dulunya, Paman Idrus adalah seorang pengusaha. Entah apa yang telah terjadi sampai semua bisnis yang dikelolanya tidak bersisa. Mungkin, ia kena tipu. Mungkin karena istrinya kurang bisa mengelola uang—aku tahu, Tante Rani suka pakai perhiasan yang mahal-mahal. Mungkin juga karena Mela, anaknya, terlalu sering minta dibelikan baju baru. Tidak sepertiku yang hanya dapat baju baru beberapa kali selama setahun.

Aku tidak banyak berpikir mengenai itu. Kubiarkan semua fakta itu berkejaran, namun tanpa banyak peduli. Sebelum suatu hari tiba-tiba pecah pertengkaran itu. Adu mulut yang mungkin dikarenakan selisih paham, tapi aku mendengar masalah intinya.

“Terus aja utangin uang-uangnya! Apa, sih, kerjaannya adekmu itu? Jangan-jangan uangnya dibuat judi.”

“Bicara apa, sih, Bu? Ini juga cuma berapa. Kita masih bisa makan.”

“Iya, makan bisa. Bayar sekolahnya Nina, apa bisa? Bayar listrik? Bayar air? Banyak yang perlu dibayar. Kalo hidup cuma buat makan kita nggak perlu buka usaha, Mas.”

“Buat semua itu, Allah akan kasih rezeki lagi buat kita.”

Lantas, ayah keluar dari kamar. Aku terdiam di sofa ruang keluarga, pura-pura membaca dan memasang headset di telinga agar beliau tidak merasa privasinya diusik. Selanjutnya, setiap cek-cok itu terjadi, aku selalu berpikir bahwa biang keladinya adalah Paman Idrus.

***

Tahun ini, aku naik ke tingkat selanjutnya, menjadi siswa SMA. Sekolahku dekat dengan kampus, masjid besar, dan kebetulan perkampungan dimana Paman Idrus dan beberapa kerabat dekat ayah tinggal. Jadi, tidak heran jika sejak saat itu, aku sering melihatnya berkeliaran di dekat masjid.

Setiap kali aku ke masjid untuk shalat Dzuhur, maka saat itu pula aku bertemu beliau. Rautnya lelah saat keluar dari angkot yang dia kemudikan. Menyempatkan mengelap peluh, namun langkahnya segera terajut menuju tempat wudu. Seringkali aku mematung sejenak ketika melihat itu semua di hadapanku.

“Nin, jangan bengong, dong. Ayo, jalan.”

Aku mengangguk pada temanku, namun pikiranku masih berputar-putar. Kilasan kejadian kecil tadi mengingatkanku saat era ayah masih berada di balik kemudinya. Ketika kecil, aku suka melambai-lambai pada ayah jika bertemu ia di jalan. Adakah anak Paman Idrus juga seperti itu? Raut lelah itu membayangiku. Bukan karena aku kasihan, tapi karena raut lelah itu jauh lebih lelah dibanding milik ayah dulu.

***

Suatu kali, aku dipaksa untuk menghilangkan anggapan bahwa Paman Idrus adalah pemicu pertengkaran ayah dan ibu. Mataku bertemu tatap dengannya, sehingga secara otomatis aku harus menyunggingkan senyum dan mendekat. Atas nama etika dan kesopanan, kucium juga tangannya sambil mengucap salam.

“Nina, apa kabar?” tanyanya ramah.

Aku mengangguk sambil berucap bahwa kabarku sekeluarga baik. Masih kusimpan tanya dalam hati, apa uang ayah sudah Paman Idrus kembalikan?

“Alhamdulillah kalau begitu. Kapan-kapan main aja ke rumah, kan deket. Bisa ngobrol juga sama Mela. Kasihan dia nggak ada temennya di rumah.”

“Iya, Om. Lain kali kalau enggak sibuk, ya. Om mau shalat, ‘kan? Silakan, Om.”

Tanpa kusangka, Paman Idrus menepuk pundakku dua kali. “Kamu yang rajin sekolahnya. Terusin usaha ayahmu. Jangan boros-boros, banyak bersyukur dan mendekat sama Allah.” Setelah mengatakannya, beliau beranjak menuju masjid.

Aku termenung lama setelahnya. Hari-hari sesudahnya, pandanganku pada paman pun berubah. Paman adalah ayah dan suami yang sedang berjuang demi persatuan keluarganya. Kudengar, banyak terjadi kesalahpahaman sejak paman bangkrut. Istrinya sempat sakit dan anaknya harus pindah sekolah hanya karena alasan komersial remeh.

Mungkin, keluarga itu tidak siap dilanda krisis. Namun, yang paling kuingat dari setiap pertemuanku dengan paman adalah keteguhannya meningkat sejak menjadi supir. Dulu, ibu pernah berkata kalau Paman Idrus sangat sibuk mengurus bisnis sampai nyaris tidak sempat shalat. Tapi, sejak Allah menegurnya, beliau sudah rajin shalat bahkan menyempatkan diri ke masjid di sela mengejar setoran.

“Ya, itulah manusia, Nin. Kalau udah butuh baru dekat-dekat sama Allah,” ujar ibu suatu kali.

“Mending yang butuh mau dekat sama Allah, kan, Bu? Daripada lagi butuh deketnya sama jin, minta bala bantuan? Atau malah sombong nggak mau minta ke Allah?” aku menimpali.

Ibu cuma tertawa mendengarnya. Frekuensi pertengkaran ayah dan ibu menyurut. Aku pun mulai belajar bahwa tidak setiap pertengkaran itu karena utang Paman Idrus. Beliau bukan biang keladi satu-satunya, namun hanya salah satunya.

Maka, dalam hati, setiap kali melihat paman turun dari angkotnya dan membasuh muka di tempat wudu masjid saat dzuhur tiba, aku berdoa agar Allah mengijabah doa yang ia panjatkan. Bagaimana pun buruknya ia dulu, pintu pengampunan tetaplah berhak ia dapatkan. Kesahajaannya dalam menghadapi kesulitan hidup merupakan faktor penting bahwa ia belum melupakan Sang Pencipta. Tak luput juga aku berdoa agar usaha ayah tetap lancar dan berkah, karena tidak ada yang tahu hari esok. Roda berputar. Nasib jatuh dan bangun. Hanya Allah yang tahu dan berhak mengaturnya.

Diam-diam, pesan dari paman kujaga baik-baik sebagai sarana mengikhtiari hidup. Entah hari ini, esok, atau di masa depan.

—fin.

P.s. :

  • Mohon maaf ancur, entah pengolahan diksi atau pengaturan dialog. Agak lama nggak nulis fiksi karena sibuk dengan yang nonfiksi.
  • Mudah-mudahan masuk ke prompt-nya karena ini ide lawas yang menguar kembali sebab belum sempat terealisasi. Semoga dapet semua pesan moral baik eksplisit maupun implisitnya, ya.
  • Selamat menikmati. Komentar berupa kritik dan saran sangat dibutuhkan karena masih dalam fase pelemasan dalam nulis fiksi. Biar gak kaku-kaku amat fiksi berikutnya heu.

11 thoughts on “Roda Kesahajaan

  1. futureasy says:

    Duh duh duh cantiknya, fiksi ini 😉 Aku selalu seneng baca tulisan kamu, Nis. Kamu jauh udah berkembang terus makin punya ciri khas. Adem ya baca fiksi ini! Gak nyangka prompt yang bikin aku nahan ketawa di awal bisa jadi yang mendamaikan kalbu seperti ini hahahaha. Yoksi Niswa adikku! (iya sorry) (adikku banyak)

    ❤ ❤

    Like

    • jungsangneul says:

      Kakdhiloo awww ini mah apa atuh kak, cuma remah debu karena abis webe wkwk. Heuu terharu nih dilihatin perkembangannya sama senpai macam mbadhil :’)
      But masih pengen ketawa tiap kali baca bahasa inggrisannya prompt ini wkwkwk makasih udah mampir kakakkuu ((gapapa kakakku juga banyak)) ♥

      Like

  2. Nadyaputri says:

    niswaaa haiii!

    duhhh kenapa sih niswa bisa banget bikin fiksi yang model begini 😦 not my cup of tea but stillllll aku menikmati bacanya! rasanya kayak lagi baca cerpen-cerpen di majalah atau koran gitu 😀

    keep making something good ya niswah✨✨✨

    Like

    • jungsangneul says:

      Hihi kak nadya bisaa aja. Emang ga banyak yang naruh cerita kayak gini di daftar bacaannya, bahkan aku juga jarang baca yang beginian. Tapi nulisnya tuh…ngademin hati kak :’)
      Waah ya masih jauh kalo dibandingin cerpen koran kak :”))

      Yepp makasih udah mampir kak ❤

      Like

  3. echaakim says:

    Yo, kak niswa, aqu kembali!!!
    Bentar kak niswa, aku masi ingin terkekeh dengan prompt versi inggrisnya😂😂
    Sumpah, awalnya aku gagal paham sama ‘new fear the me is three’. Aku diem bermenit menit demi dapat pencerahan lalu ketawa lyk goblok people pas udh tau apa maksudnya😂🔫
    Apik banget fiksimu, kak. Seneng aku bacanya, bikin damai gitu. Pokoknya aku suka banget deh, bacanya enak banget, ngalir gitu tau tau udah fin, lalu rasanya mau balik ke atas lagi hehe. Terus juga fiksi ini banyak nilai moralnya ya, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari ceritamu, kak🙆
    Jadi sambil baca, dapet ilmu hwehehehe

    Semangat terus, kak niswa💪💪

    Like

    • jungsangneul says:

      Haha echaa bisa aja ihh. Lah masa gagal paham? Wkwkwk aku juga ngakak dulu sih pas nemu itu berbulan-bulan yang lalu haha.

      Yepp alhamdulillah kalo suka dan dapet nilai moralnya. Sipsip makasiih kunjungannya dan semangat juga untukmu<3

      Like

    • jungsangneul says:

      Aaa kak kiki makasih udah mampiir, ini mah apaan atuh abis webe jadi aga berantakan :’) Alhamdulillah kalo suka uhuhu terharuu hughug ❤

      Like

  4. O Ranges says:

    NISWAAAAAA AAAAAAASAKDASLKDJASJHAJDHAH ADUH INI ADEM BANGET BACANYA AKU KUDU PIYE :”(

    tampol titan nis, yg ninggalin komen geje macem ini huehue. but seriously, habis baca cerita ini tuh bawaannya adem gitu. apa tuh istilahnya, right in the kokoro?? duh lah, cantik banget niswa nulis ceritanya yeokshi 😀

    keep writing ya niswaa. laf laf ❤ ❤

    Like

    • jungsangneul says:

      Heuu abisan yang nulis juga buat ngademin hati tujuannya, wkwk. Alhamdulillah kalo suka kak 🙂 ah gapapa ga jelas juga kuterima kok kak terboz paling lovelykuuuh ♥♥
      keep writing juga untukmu, kak ^^

      Like

Leave a reply to echaakim Cancel reply