Favor

© Catstelltales | namtaegenic

Was published on Indonesia Fanfiction K-pop under my old penname, namtaegenic

Feauture image credit: Unsplash (Photo by Jennifer Boyle)

Ia benci ketika nostalgia menyergapnya tanpa aba-aba.

.

Mina baru saja akan menyentuh logo kirim di perbaharuan status LINE-nya, ketika panggilan masuk menguasai layar. Dengan dahi yang berkerut dalam hingga kedua alisnya nyaris bertukar tempat, Mina menolak panggilan—tak ada urusan pada nomor tak dikenal. Namun belum satu menit ia bertatap muka kembali dengan fitur obrolan tersebut, panggilan masuk menyapa lagi. Barangkali baru pada panggilan masuk ketigalah akhirnya Mina menyambutnya.

“Kenapa tadi dimatikan, sih?” seru suara dari seberang.

“Maaf?”

“Ini Sungjoon!” pemuda itu nyaris mendesis memekakkan telinga. Kesal sekali rupanya. Mina menaikkan sebelah alis, baru ingat belum menyimpan nomor Sungjoon di ponselnya. “Kalau aku sedang sekarat dan butuh bantuanmu, aku pasti sudah mati!”

“Maaf.”

“Dimaafkan. Sekarang aku perlu pertolonganmu.” Terdengar bunyi keresak seakan Sungjoon berpijak pada tumpukan dedaunan dan ranting. “Sekarang aku sedang berada di—ugh, nyamuk sialan!—di gerbang belakang. Tahu, kan? Gerbang belakang sekolah yang lama, pintasan ke gang yang ada tempat fotokopinya? Kedai ramyun? Pangsit? Tahu, tidak?”

“Tahu.”

“Bilang dari tadi dong, kalau tahu! Aku kan, tidak perlu panjang lebar!” Sungjoon menghela napas kesal.

“Sungjoon, lima menit lagi masuk. Kamu sedang apa di sana?” Mina tiba-tiba merasa berkewajiban untuk mengetahui keadaan teman sekelasnya. Bukan, bukan karena ia peduli. Paling tidak ia akan menolak apabila ada yang berpendapat bahwa ia peduli pada apa yang Sungjoon lakukan. Mina bahkan tidak yakin apakah mereka benar-benar berteman, karena Sungjoon adalah teman ketimbang-tak-ada-teman-sama-sekali baginya. Anak perempuan di sini belakangan tampak segan padanya. Dan Mina juga tidak berminat untuk merepotkan diri berbaur dengan mereka.

“Aku akan terlambat. Rantai sepedaku bermasalah dan aku masih harus mengantarkan kue buatan ibuku ke rumah kliennya, jalan kaki!”

“Ya sudah, datang terlambat saja. Atau kalau kamu mau bolos, nanti kutuliskan surat dan kupalsukan tanda tangan ibumu.” Mina baru saja akan mengakhiri pembicaraan ketika Sungjoon mendesis nyaring lagi.

“Lee Sungjoon tidak pernah datang terlambat apalagi membolos!”

Jadi ternyata itulah yang membuatnya berkali-kali menelepon Mina. Reputasi di atas segalanya. Lama-kelamaan Sungjoon bikin jengkel juga. Musibah sekecil itu seharusnya diterima saja. Tidak seperti ia akan dikeluarkan dari sekolah gara-gara terlambat barang satu jam.

“Jadi, Myoui Mina, aku memohon padamu dengan sangat, tolong datang ke sini, dan antarkan tasku ke dalam kelas sebelum bel masuk. Lalu aku akan masuk tanpa tas dan bilang pada guru piket bahwa aku barusan memfotokopi lembar kerja siswa.”

“Tidak.”

“Kumohon, kumohon, kumohon, aku berhutang padamu, kumohon, kumo—”

Mina menutup pembicaraan dengan sepihak dan meletakkan ponselnya di bawah laci, lupa bahwa barusan ia hendak memperbaharui status LINE-nya dengan stiker James sedang menggaruk pantat. Gadis itu bersandar, berusaha rileks, dan mengusir bayangan Sungjoon yang sedang berjibaku dengan sepedanya. Lalu wajah paniknya karena tidak ada tempat untuk meletakkan kotak kue ibunya.

Ibunya.

Ibu.

Mina tak pernah sekalipun mengabaikan sosok perempuan berderajat serupa di belahan Bumi mana saja.

Langkah yang diambilnya memang berat. Tapi sebelum menit kedua, Mina sudah berada di anak tangga terakhir menuju koridor sekolah. Ia berlari di jalan setapak ke arah gerbang belakang sekolah mereka yang sudah jarang digunakan, nyaris terjerembab lantaran perbedaan tinggi lantai beton, dan bersusah-payah mengerem lajunya kala ia sudah tiba di tujuan. Mina melirik ke kiri dan ke kanan. Satpam nyaris tak pernah berjaga di sini. Gadis itu melepaskan gerendel pagar dan mendapat Sungjoon berjongkok di balik tembok sekolah. Pemuda itu mendongak dan segera bangkit.

“Kemarikan ranselmu!” ucap Mina di tengah sengal napasnya, bertepatan dengan dering bel tanda semua kegiatan pembelajaran dimulai.

“Er, sudah bel, lho, omong-omong.”

Mina merampas tas Sungjoon dan memasangkan kedua talinya ke bahu, kemudian memerintahkan pemuda itu untuk pergi selekasnya. Ia baru saja hendak melangkah, ketika tiba-tiba pandangannya terhalang oleh sesuatu yang menjulang. Tak perlu menengadah untuk memastikan bahwa ia sudah mati langkah.

Pelatih Kwon menatapnya sambil berkacak pinggang.

“Gerak cepat.” Suaranya terdengar seperti robot pembasmi. Matanya bersitatap dengan dwimanik legam Mina. Pembantaian akan dimulai.  “Tapi tidak cukup cepat. Ruang detensi, sepulang sekolah, bersama yang mencoba mengelabui satpam di gerbang utama. Guru Park yang akan piket hari ini. Nah, selamat pagi.”

Bahu Mina terkulai pasrah dengan tas Sungjoon masih menggantung di sana. Ia membetulkan letaknya, mengekori Pelatih Kwon yang sudah seribu langkah lebih dulu darinya. Mina akan berdiang di ruang detensi yang pengap dan membosankan, memang. Tapi setidaknya Sungjoon bisa mengantarkan kue buatan ibunya dengan selamat.

Ibunya.

Ibu.

Mina mendadak terpasung ruang rindu. Ia benci ketika nostalgia menyergapnya tanpa aba-aba. Sungjoon sungguh berhutang padanya atas perasaan ini.

Dari balik tembok belakang sekolah, Sungjoon menyaksikan semuanya. Lain yang dirasakan si gadis, lain pula rekognisinya. Tadinya ia berpikir bahwa mungkin Myoui Mina terbuat dari delapan puluh persen es serut dan minus lima puluh persen kepekaan pada penderitaan teman.

Namun impresi terkini menunjukkan tanda-tanda bahwa bisa saja di dalam diri Mina terdapat n persen dari ekstrak embun pagi. Karena nyatanya kebaikan gadis itu menyejukkan.

“Mina!” usai memastikan bahwa tidak ada lagi guru dan petugas sekolah yang mengawasi, Sungjoon menekap kedua sisi mulutnya agar suaranya terfokus.

Mina menoleh, memberikan tatapan ‘kenapa belum pergi juga, otak udang’ yang kentara sekali. Tapi kali ini Sungjoon tersenyum lebar. Manis juga menyebalkan.

“Kutunggu sampai kamu keluar dari ruang detensi. Kuantar pulang!”

Mina tersenyum kecut.

“Dengan sepeda itu?”

Sungjoon menatap sepedanya sendiri. Ia kenal seseorang di daerah sini yang bisa memperbaiki si roda dua.

Lantas pemuda itu mengangguk.

“Dengan sepeda ini.”

.

 | FIN.

5 thoughts on “Favor

  1. Fantasy Giver says:

    kak eciiii! 🙂 fistly first, selamat tahun baru yaa, kak, hehehehe. semoga tahun ini kakak bisa dapet banyak yang baik-baik.

    anyway, aku tuh selalu suka tulisannya kak eci karena suasana dan pembawaannya tuh selalu santai dan fresh gitu. khas banget anak muda, ada vibe teenlit impor. apalagi kak eci sering nulis tentang high school life kan, jadi bener-bener asik lah, hehe. terus ini… mina dan sungjoon. tbh i don’t know who they are tapi gimana kakak nulisnya bikin aku bisa enjoy dan baca sampai abis dan ninggalin aftermath yang anget-anget gimanaaa gitu di hati. mmm aku suka banget determinasinya sungjoon yang ga mau telat dan tetep mau bantu ibunya juga gimana determinasi itu mengubah prinsip mina. dan kak eci sukses mengeksekusi family campur friendship slight sedikit romance dan slice of life dengan komposisi diksi yang luar biasa mulus! ❤ ❤

    semangat terus kak eciiiii!

    Like

    • catstelltales says:

      Iya vin aku kalo nulis school-life slash slice of life itu rasanya enjoy hehehe makasih lho evin sudah mampir, dan selamat tahun baru juga!

      Like

Leave a reply to nodat_riseuki Cancel reply