Restart

by Primrose Deen

“Aku yakin bahwa perasaan kita masih sama. Lantas kenapa kita masih saja keras kepala?”

Featured Image © Danielle MacInnes

Ashley dan Dave berbaring berhadapan, namun dwimanik mereka tak saling menatap. Keduanya kompak mengamati malaikat kecil berusia setahun di antara mereka yang sedang jauh berkelana di alam mimpinya. Begitu tenang, meneduhkan. Rambut pirang ikalnya yang menurun dari Ashley nampak agak kusut. Dave pun berinisiatif untuk sedikit menyisir rambut putrinya dengan jemarinya secara perlahan.

“June sangat mirip sepertimu saat tidur. Tidak banyak bergerak,” ujar Dave dengan suara berbisik.

Ashley menyeringai, lalu diikuti tawa kecilnya. “Dan Claire sangat mirip sepertimu. Butuh tempat tidur besar. Jika tidak, lantai rumah bisa rubuh karena kalian terlalu banyak bergerak dan bisa jatuh kapan saja.”

Mereka tertawa bersamaan, nyaris tanpa suara.

Dave melirik wanita di hadapannya sepersekian detik, lalu berucap, “Sepertinya anak-anak sudah tidur.” Ia beranjak dari tempat tidur dengan hati-hati. “Aku ada di kamar sebelah. Bangunkan saja jika butuh sesuatu. Kau tahu sendiri, aku jadi tuli saat tidur.”

Ashley tersenyum, lalu mengangguk mengiakan. Ia masih menatap lelaki di hadapannya itu, yang sedang sibuk membungkuk untuk mengambil cas ponselnya di sebelah tempat tidur. Pandangannya ia alihkan sesaat ketika lelaki itu berdiri dan bertanya, “Mau kumatikan lampunya sekalian?”

“Tidak usah. Aku masih akan mengecek Carson. Tadi dia bilang kakinya pegal.”

“Mau kubantu untuk memijatnya sebentar?”

Ashley menggeleng. “Tidak usah. Aku juga ingin ke kamar Claire sebentar.”

“Baiklah kalau begitu. Selamat malam,” ucap Dave, lantas menghilang dari balik pintu.

Ashley menghela napas perlahan. Jika saja ia bisa lebih jujur, sebenarnya ia ingin Dave membantunya untuk memijit kaki Carson—anak kedua mereka—lantaran ia merasa sangat lelah seharian ini. June, anak bungsu mereka, banyak mengalami tantrum hari ini. Ditambah dengan mempersiapkan keperluan Carson untuk field trip hari ini serta segala hal yang terjadi di antara dirinya dan Dave, fisik dan psikis Ashley rasanya tersiksa bersamaan.

Tapi, egonya lebih besar daripada rasa lelahnya. Setelah sepakat untuk menyudahi perdebatan dengan berpisah jalan, rasa sungkan yang sudah lama berdormansi kini tumbuh kembali. Sepuluh tahun terakhir, ia selalu bahu-membahu melakukan banyak hal bersama lelaki yang akan menjadi mantan suaminya itu. Perubahan drastis yang mendadak ini terasa berat, tetapi Ashley yakin, ia akan terbiasa.

Namun kekhawatiran terbesarnya bukanlah tentang dirinya yang harus menjadi lebih independen. Melainkan beban untuk memberi penjelasan paling sederhana untuk ketiga anaknya, bahwa ayah dan ibunya tak bisa lagi bersama-sama. Ashley teringat hari pertama setelah ia dan Dave sepakat untuk mendaftarkan perceraian mereka ke pengadilan. Suasana canggung tak terelakkan, kendati sudah sekuat tenaga disembunyikan.

“Dad, kenapa tak mencium Mom seperti biasanya? Bukankah sebelum sarapan kau selalu mencium Mom dan berterima kasih karena sudah menyiapkan makanan untuk kita semua?” tanya Claire setelah Ashley meletakkan piring dan cangkir bergambar unicorn kesukaannya.

Ashley dan Dave bertukar pandang, sarat akan kepanikan. Dave seketika tertawa renyah, lalu menjawab, “Dad merasa sepertinya akan terserang flu. Jadi Dad tidak akan mencium Mom dulu. Nanti menular.”

Claire hanya membentuk huruf o dengan bibirnya seraya mengangguk paham. Ia pun memulai sarapannya tanpa curiga dan banyak mengajukan tanda tanya. Untuk saat ini, mungkin Ashley dan Dave boleh merasa lega. Tapi, sampai kapan?

Dave akan pindah keluar dari rumah setelah mereka nanti resmi bercerai. Hingga waktu itu tiba, Dave dan Ashley masih berlaga seolah-olah tak terjadi apa-apa. Mereka masih mengantarkan Claire dan Carson ke kamar dan mengobrol sebelum tidur, mereka masih menidurkan June bersama-sama di kamar (yang dulunya) milik mereka, mereka masih berbelanja keperluan bulanan bersama-sama—yang mereka yakin akan menjadi terakhir kalinya.

Ashley melangkah pelan-pelan ke kamar Carson dan menemukan jagoan kecilnya yang mengidolakan Hulk itu tidur dengan selimut tersibak. Ashley tersenyum sebelum membetulkan selimut anak keduanya. Ia memijit-mijit pelan kaki Carson dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Sesekali ia berhenti dan mengusap rambut Carson, dan berbisik, “Maafkan kami, Cars.”

Setelah lima belas menit memijit Carson, Ashley kembali melangkah tanpa suara ke kamar anak sulungnya, Claire, yang tepat berada di sebelah kamar Carson. Ia merasa beruntung karena seluruh lorong lantai dua dilapisi karpet, sehingga ia tak perlu mengkhawatirkan langkah kakinya akan menimbulkan suara. Namun ketika ia hampir mencapai pintu kamar Claire yang terbuka, sebuah suara percakapan menghentikan langkahnya.

“Jadi, Dad akan tinggal di rumah Nyonya Potts minggu depan?” tanya Claire dengan suara kecilnya.

“Benar,” jawab Dave. “Dad sudah membeli rumahnya.”

“Kenapa harus pindah?”

“Mmm, begini.” Dave membuat jeda sesaat. “Ketika kau lulus dari TK, apakah kau tetap di tempat yang sama untuk sekolah dasar?”

“Tidak.”

“Apakah kau pindah dari sana?”

“Ya.”

“Apakah kau berpisah dengan teman-teman lamamu?”

“Ya.”

“Apakah kau masih menyayangi teman-temanmu di TK?”

“Tentu saja.”

“Ya, begitu pula Dad dan Mom. Dad dan Mom memang tidak bersama lagi, tapi kami masih saling menyayangi.”

“Tetapi kenapa? Kalian kan bukan teman sekolah.”

“Iya, benar. Tapi kami tidak bisa tidur sekamar lagi.”

Claire adalah anak yang cerdas. Ashley sepenuhnya yakin bahwa Claire memiliki pertanyaan untuk diajukan saat ini. Tapi alih-alih bertanya, Claire hanya menurut saja saat Dave menyuruhnya untuk segera tidur. Ashley yakin, Claire tahu bahwa orangtuanya sedang tidak baik-baik saja.

Ashley meremas ujung sweternya. Ia menutup matanya rapat-rapat sembari menggigit bibirnya, berusaha untuk tak memecah suara tangisnya. Hatinya remuk. Ia tak pernah menduga, hari seperti ini akan tiba.

Ia tidak tahu berapa lama dirinya berdiri di sana dengan mata tertutup. Hingga akhirnya suara Dave menyapa rungunya.

“Ashley?”

Kala Ashley membuka matanya, berbutir-butir air mata meleleh dari pelupuk matanya. “Hei,” sahutya cepat. Ia segera menghapus air matanya dengan lengan sweternya. “Apa Claire sudah tidur?”

Dave tersenyum sembari mengangguk pelan. “Istirahatlah. Kau tampak sangat lelah, jadinya aku tadi menengok anak-anak sebentar. Ternyata Claire belum tidur. Ia tidak bisa tidur.”

Ashley mengangguk cepat, lalu memandang anak perempuannya beberapa detik sebelum melangkah pergi. Entah mengapa, tiba-tiba jarak antara kamar Claire di lantai dua dengan lantai satu terasa begitu jauh. Tiba-tiba anak-anak tangga terasa menjelma menjadi ratusan jumlahnya. Tak ada kata yang terlontar, hanya ada senyap dibungkus kecanggungan.

“Selamat tidur,” ujar Ashley cepat sebelum melangkah ke kamarnya. Alih-alih mendapatkan ucapan balasan, Dave justru memanggil namanya yang digabungkan dengan nama terakhir Dave.

“Ashley Crosby.”

Ashley menghentikan langkahnya, namun belum membalikkan badan.

“Saat ini namamu masih Ashley Crosby, bukan?”

Kali ini, Ashley menangkap getar pilu dalam suara Dave. Ia membalikkan badan dan menemukan Dave sedang berdiri di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. Ia melihat Dave mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya, berusaha menahan agar tak memecah tangis.

“Dave,” gumam Ashley. “Dave, tolong.”

“Tak peduli berapa kalipun aku berpikir keras, aku tetap tak dapat menyusun rencana untuk hidup tanpamu di dalamnya, Ashley.”

Ashley masih tak bergeming, menanti lelaki di hadapannya menyelesaikan perkataannya.

“Aku tidak tahu bagaimana denganmu. Tapi aku tidak bisa. Melihatmu kelelahan seperti hari ini mengingatkanku ketika kau dengan berani memutuskan untuk melahirkan June dengan persalinan normal. Aku menangis seperti orang hilang akal, sedangkan kau malah tertawa sambil menahan sakit.”

Dave menutup matanya sesaat dan butir-butir air pun jatuh dari kedua matanya. “Demi Tuhan, Ashley. Aku mencintaimu.”

“Tapi, Dave, kau tahu sendiri, kita sudah membicarakannya berminggu-minggu. Namun kita tetap tak menemukan titik terang untuk masalah itu.”

“Bukankah kita kemarin hanya sedang sama-sama lelah? Bukankah kita jauh lebih dewasa dan tangguh di hadapan alasan perpisahan yang seperti ini? Aku yakin bahwa perasaan kita masih sama. Lantas kenapa kita masih saja keras kepala?”

Ashley termenung hampir semenit penuh.

“Pernikahan adalah sesuatu yang kompleks. Dan ini adalah pertama kalinya untukku menjalani pernikahan. Aku selalu belajar untuk menjadi lebih baik setiap harinya. Untukmu, untuk Claire, untuk Carson, untuk June, untuk kita semua. Aku masih jauh dari kata sempurna. Tapi aku janji, akan tak akan jenuh berusaha. Aku mengatakan ini tak hanya demi anak-anak kita saja. Aku mencintaimu. Demi Tuhan, aku ingin terus menggunakan kata ‘kita’ untuk menggambarkan aku dan dirimu.”

Seumur hidupnya, baru sekali Ashley melihat seorang David Crosby menangis; saat ia mendampingi dirinya melalui persalinan June. Bahkan saat pernikahan mereka saja, Dave sama sekali tak menangis. Padahal Ashley sudah membangun ekspektasi tinggi seperti video-video pernikahan yang ia lihat di YouTube. Tapi malam ini adalah yang kali kedua. Tubuh Dave bergetar. Suara tangis yang berusaha ia redam, tetap mengeluarkan suara. Kedua pipinya basah karena air mata.

Ashley mengambil dua langkah mendekati Dave dan melingkarkan tangannya di tubuh Dave. Ia mengelus dan menepuk-nepuk pelan punggung lelaki itu.

“Sssh,” desis Ashley, berusaha menenangkan Dave. Ia tersenyum dan berkata, “Maafkan aku, Dave.”

Dave mengangkat wajahnya untuk menatap wanita di hadapannya, berusaha menyelami kedua matanya. Lantas selengkung kurva terbentuk di bibirnya. Ia menarik wanita itu lebih jauh ke pelukannya. “Maafkan aku juga. Maafkan aku sudah bicara dengan nada tinggi padamu sebelumnya.”

Kali ini, Ashley dan Dave sepakat untuk terus melangkah beriringan di jalan yang sama. Mereka sadar bahwa menikah tak lagi tentang Dave maupun tentang dirinya. Melainkan tentang bersama-sama.

Bagi setiap orang, menjalani hidup ini adalah yang pertama kalinya. Tak ada yang tahu bagaimana caranya untuk menjadi manusia terbaik, karena setiap dari kita adalah manusia yang unik. Tak setiap metode penyelesaian bekerja untuk semua permasalahan.

Pelukan mereka masih juga belum terlepas. Tiba-tiba Ashley merasakan embusan napas di telinganya dan mendengar Dave bertanya dalam bisikan, “Haruskah kita memberi June seorang adik?”

end.

Notes:

  • Akhirnya bisa posting lagi di Writers’ Secrets setelah hiatus lamaaaa banget. :”)
  • Btw, nama-nama karakter ini ada betulan gaes. Aku ambil dari salah satu kanal YouTube favoritku, The Crosbys. Asli, cek deh. The kids are super adorable and the parents are so lovable!
  • Udah lama nggak nulis. Apalagi waktu nulis ini, nulisnya pake hp pas mau mandi tadi pagi. HEHE. Kalau ada salah dalam EBI-nya, mohon dikoreksi. Thank you! xx

 

8 thoughts on “Restart

  1. Fafa Sasazaki says:

    Aku masih jauh dari kata sempurna. Tapi aku janji, tak akan jenuh berusaha.

    I like that promt. Bagi aku yg udh nikah, baca cerita2 rmh tangga gini kadang suka ngena, karena, ya, pernikahan emang komplek. Seperti katamu.

    The Crosby, kayak pernah denger nama itu. Coba deh ntar aku mampir yutub.

    Thanks ya udh buat cerita ini.
    Keep writing

    Liked by 1 person

  2. xxero says:

    I love this writing. Mengusung kenyataan dalam sebuah pernikahan yang society anggap bahwa pernikahan selalu membawa kebahagiaan. Tapi kamu mengupasnya dan mengungkap hal di balik indahnya frame pernikahan yang dibangun sosial.

    Thanks for writing this.

    Liked by 1 person

  3. Deliadeaa says:

    Kok aku ikut sedih pas mas Dave bilang dia masih cinta sama mba nya 😥 Aku suka fiksi yang marriage tipe begini, menarik untuk disimak. Bagi setiap orang, menjalani hidup ini adalah yang pertama kalinya. Line ini ngingetin aku sama drama Because This Is My First Life, drama fav ku 🙂 Bagus kak, ringan tapi ngena. Terimakasih sudah menulis karya ini 🙂

    Like

Leave a comment