Preparation

“Tapi kita tidak punya banyak waktu”

.

Usai makan malam yang sedikit ricuh karena dua adik kembar Laura berdebat soal Iron Man dan Captain America, dia segera naik ke atas dan menutup pintu kamarnya. Gadis berambut cokelat gelap itu mengembuskan napas dan memejamkan mata. Dia membayangkan kalau besok bisa lebih menyenangkan dibandingkan dengan apa yang ia khawatirkan. Kemudian dia membuka mata lagi; buku, kertas, alat tulis dan laptop masih ada di atas tempat tidurnya. Untuk kesekian kali, rasanya dia ingin menyerah.

Laura melangkah ke arah tempat tidurnya, menendang bantal bulu yang ada di lantai, lalu bersandar di atas kasur. Belum sempat dia memutuskan akan tidur atau melanjutkan persiapannya, pintu kamar gadis itu diketuk dari luar. Seorang lelaki kurus berambut ikal tersenyum dari celah pintu yang terbuka.

“Kupikir seseorang butuh bantuanku.”

Mulut Laura kaku, dia beranjak dan membiarkan Luca masuk. Laura ingin sekali mendorong lelaki itu keluar lagi kalau tidak merasa bersalah pada wajahnya yang pucat. “Kau waras? Kenapa kesini? Bagaimana kalau demammu tambah parah?”

“Hey, hey, aku datang bukan untuk membebankan. Aku baik-baik saja,” seru Luca. Dia langsung memosisikan dirinya di atas kasur sambil terbatuk-batuk. “Jujur saja, buku-buku ini tidak akan banyak membantu.”

“Sialan,” Laura mengumpat sambil ikut bersandar di samping Luca. “Aku stres berat.”

“Memang, kau terlihat lebih sakit daripada aku,” Luca tertawa serak, dia mengambil salah satu buku dan kertas catatan milik Laura. Beberapa menit dia membaca, lalu beralih pada Laura yang sudah menatapnya lebih dahulu. “Tapi kita tidak punya banyak waktu.”

Tadinya, Luca yang harus berada di posisi Laura saat ini. Lelaki itu memiliki kemampuan lebih untuk mewakili sekolah mereka dalam kompetisi debat nasional dibanding Laura. Namun, kemarin kondisi kesehatan lelaki itu menurun, seluruh anggota tim cemas. Dia pun segera meyakinkan guru pembimbing dan merekomendasikan Laura agar menggantikannya. Meski awalnya tidak ada yang berharap lebih dengan kemampuan Laura kecuali Luca.

Kepercayaan diri Laura menurun terlebih saat salah satu anggota tim mereka melayangkan protes tentang kemampuannya. Ditambah lagi, penyakit gugup yang selalu datang saat dia mendapat tekanan. Kalau mau bersikap pongah, dia bisa tetap tinggal di rumah dan tidak ikut sampai kompetisi usai. Kendati dia tahu bukan itu keinginan yang sebenarnya.

Jam kecil di meja samping tempat tidur Laura menampakkan pukul sebelas malam. Selanjutnya gadis itu memerhatikan Luca yang sedang menguap sambil bergumam mengenai Kutub Utara.

“Aku tidak ingin memberi ekspektasi, kau tahu?” Laura berhasil mendistraksi Luca yang lantas mengarahkan mata biru gelapnya ke arah Laura. “Seandainya kau bisa ikut dan aku tetap menjadi pemain cadangan yang tidak akan menjadi pemain utama.”

“Laura, yang benar saja. Aku tidak mau menghabiskan delapan jam terakhir ini untuk membahas hal itu lagi.”

“Tapi—“

“Kalau kau terus begini, aku akan pulang dan tidak akan pernah lagi bicara denganmu.”

Laura diam. Dia belum pernah melihat Luca yang sekarang. Meski wajah putih pucatnya mendominasi, tidak bisa menutup ambisi yang tercetak dari tiap ekspresinya saat melontarkan beberapa pertanyaan kepada Laura terkait tema debat. Di saat bersamaan, gadis itu merasa kesal dan bersalah pada apa yang baru ia ucapkan. Setidaknya dia harus mengapresiasi tindakan nekat yang mempertaruhkan kondisi sahabatnya.

“Aku mulai menebak kenapa kita sering berada di situasi seperti ini.”

“Situasi apa?” Luca menjawab.

“Ya—kau selalu membantuku secara tidak langsung,” Laura tersenyum. “kau ingat saat aku jatuh dari sepeda dan kau mengerjakan semua tugas sekolahku? Selain itu, masih banyak lagi.”

“Aku juga tidak tahu mengapa,” lelaki itu menutup catatannya. Dia beralih ke arah Laura, lalu mengangkat bahu. “Mungkin karena sebelas tahun persahabatan.”

Hening.

“Aku juga menebak, mungkin ada alasan lain,” ujar Luca sebelum menggiring atensinya ke luar jendela. Dari situ, Laura menangkap warna merah menempel pada wajah pucat Luca.

Kemudian, gadis itu pun ikut mengalihkan perhatian pada objek lain.

a/n : dibuat sangat mendadak tapi kusenang bisa nulis lagi! Tulisan ini berdasarkan prompt dari pinterest tapi kulupa dimana nyimpen gambar promptnya.

6 thoughts on “Preparation

  1. Fantasy Giver says:

    halo, kak titaaaaaaa! seneng sekali deh bisa liat kak tita nulis lagi, hehehehe.

    anyway, kak tita pernah nonton guardians of galaxy vol. 2 gaaa? di situ, gamora sama star lord kalau lagi denial sama perasaannya bilang ada “some unspoken things”. nah menurutku…. kayaknya luca dan laura di sini juga punya unspoken things deh huehue. DAN YAAAS bestfriends to lovers is one of my favorite trope jadi ini asyik sekaliiii!

    semangat terus yaaa, kak tita! keep writing! ❤

    Like

    • titayuu says:

      Haloooo eviinn! Kujuga senang kamu mampir hehehe

      Yesss aku udah nntn guardians of galaxy dan yesss beneer banget hubungan luca sama laura kaya star lord sama gamora (btw aku gak sadar kalo kamu gak bilang) hahaha

      Anw, makasih udah bacaaa evin! Kutunggu tulisanmu ♥️

      Like

Leave a comment