Saya Tidak Akan Membela Diri

portrait-915230_640

credit: suvajit

by aminocte

Apakah Tuan ingin saya menjawab dengan jujur?

“Apakah benar Saudara mencuri di supermarket Z tadi sore?”

Tuan, jika Tuan bertanya apakah benar saya mencuri di sebuah supermarket di kota ini tadi sore, saya bisa menjawabnya dengan sebuah gelengan. Atau dua. Atau tiga. Seraya diiringi dengan jawaban dari suara serak bercampur air mata yang berlinang.

“Itu tidak benar, Tuan! Sungguh, saya tidak melakukannya!”

Saya bisa membayangkan bahwa Tuan tidak begitu saja percaya dengan pengakuan saya yang sedemikian meyakinkan. Maka saya akan terus menangis, jika perlu meratap, diselingi sedu-sedan akibat tangisan yang tak kunjung reda. Saya akan berkata bahwa siapa pun yang melaporkan bahwa saya telah mencuri sesungguhnya adalah pembuat fitnah. Siapa pun orangnya, maksud saya, si pembuat fitnah itu, lebih pantas menerima hukuman dibandingkan saya yang tidak berdosa.

Namun, saya menduga bahwa Tuan memiliki hati yang teramat keras dan teguh layaknya andesit. Maka Tuan bergeming, menganggap pengakuan saya adalah omong kosong. Entah omong kosong dari seseorang yang gemar berbohong ataukah dari seseorang yang setengah sinting, mungkin Tuan tidak akan mempermasalahkannya.

Yang jelas, Tuan tidak akan semudah itu untuk luluh dan melepaskan saya.

Kendati demikian, Tuan, saya masih memiliki kartu truf terakhir. Saya akan menukil kisah hidup saya sebagai orang yang papa dari keluarga yang sangat sederhana. Juga tentang saya yang terpaksa keluar dari sekolah pada usia enam belas tahun, pun terpaksa menikahi seorang gadis yang telah digauli oleh orang lain, semata karena orang tuanya kepalang malu dan tidak punya pilihan lain.

Setelah itu, saya akan berhenti untuk mengambil napas sejenak, dan bersiap melanjutkan kisah saya.

Namun, Tuan akan berkata bahwa segala kisah hidup saya itu tidak ada gunanya. Tidak ada keringanan bagi seorang pencuri, meski ia miskin dan hina sekalipun.

Akan tetapi, saya, entah mendapat keberanian dari mana, akan terus bercerita.

Kali ini, tentang saya yang telah menjadi seorang ayah yang tidak bertalian darah dengan anaknya. Anak itu baru lahir dua belas bulan yang lalu dan berjenis kelamin laki-laki. Wajahnya bulat dan matanya serupa buah badam. Menyenangkan sekali melihatnya. Namun, biaya untuk membesarkannya tidak pernah bersahabat dengan kantong saya. Istri saya tidak lagi bisa menyusuinya setelah usianya genap setahun, sehingga saya harus memutar akal agar bisa membeli susu untuk anak saya. Mertua saya terus-menerus mendesak saya agar mencari pekerjaan yang lebih baik dibandingkan berjualan es keliling di musim hujan seperti ini. Namun, mereka lupa bahwa mencari pekerjaan di zaman sekarang tidaklah semudah membasahi badan di kala mandi.

Ah, Tuan mengerutkan dahi, lalu tergelak. Ada apakah gerangan, Tuan? Apakah ada yang lucu dari kisah saya? Haha, kisah dari orang papa seperti saya tentulah lucu bagi orang yang berada seperti Tuan, bukan?

Saya bisa membayangkan bahwa Tuan meminta saya untuk melanjutkan cerita saya. Maka, inilah lanjutannya, Tuan.

Saya yang kepalang panas hati setelah diomeli istri, pun tak tega melihat anak yang terus meraung-raung karena kehabisan susu, akhirnya memutuskan untuk mencari angin segar. Bukannya saya tak terima jika istri saya marah sedemikian rupa. Wajar ia marah karena ia iba melihat anak kandungnya terpaksa harus minum susu kental manis yang dicairkan. Wajar ia marah karena nafkah yang saya berikan tak mampu menghidupi keluarga kecil yang baru saya bina. Wajar pula ia marah karena tak tahan dengan omelan orang tuanya yang terus-menerus merendahkan saya. Harga diri saya sebenarnya tidak terima. Bukankah saya dulu dianggap penyelamat harga diri keluarga mereka? Namun, kini, harga diri tinggal harga diri, yang bagi saya tak lebih dari harga sebungkus mi instan. Harga diri saya tidak bisa menunjang kehidupan, apalagi untuk menjadi tameng dari segala cemooh dan cibiran.

Langkah kaki saya membawa saya ke sebuah kedai. Terlalu besar untuk sebuah kedai, sebenarnya. Mungkin inilah yang disebut orang dengan supermarket.

Saya bisa membayangkan kekehan Tuan. Tuan pasti menertawakan saya yang terlampau udik ini, bukan? Biarlah, Tuan, tak mengapa bila Tuan terus menertawakan saya. Saya akan terus bercerita.

Di dalam supermarket itu, ada begitu banyak rak-rak tinggi yang terisi penuh oleh berbagai barang. Setiap rak ditandai dengan tulisan yang dicetak besar-besar. Semisal MAKANAN RINGAN, MINUMAN, DETERJEN, PEMBERSIH LANTAI, dan SUSU.

Susu! Susu balita! Bukankah itu yang dibutuhkan anak saya? Istri saya pasti senang jika saya berhasil membawa pulang susu ini, setidaknya satu kotak saja.

Maka, saya berjalan mendekati rak berisi kotak-kotak susu aneka warna. Ada yang berwarna merah, ada pula yang berwarna hijau dan kelabu, juga biru gelap. Biasanya kotak-kotak susu ini juga bertuliskan angka-angka, sesuai dengan usia anak yang akan meminumnya. Usia anak saya satu tahun, berarti saya harus mencari kotak susu yang bertuliskan angka satu.

Sebenarnya, melihat begitu banyaknya kotak susu yang tersusun pada rak ini membuat saya hampir pusing. Namun, saya terus berusaha mencari. Angka 1, angka 1, angka 1 ….

Saya menemukannya! Saya menemukan kotak susu berwarna hijau yang memuat angka 1. Harganya ….

Harganya membuat saya nyaris ingin berteriak.

Seratus dua puluh ribu rupiah.

Susu ini pastilah luar biasa sehingga begitu mahal. Jauh lebih mahal daripada susu kental manis yang biasanya saya beli. Sayang sekali, saya tidak punya uang untuk menebusnya. Mau tidak mau, saya harus meletakkan kotak itu ke tempatnya semula.

Sebenarnya, hati saya iba sekali melepasnya, sehingga kotak itu berada di dalam genggaman tangan saya untuk beberapa saat lamanya. Semakin saya genggam, semakin sulit pula bagi saya untuk melepaskannya.

Tiba-tiba, saya mendengar seorang pegawai supermarket berseragam merah meneriaki saya. “Pencuri!” teriaknya.

Namun, saya bukan pencuri, Tuan. Sungguh! Pastilah ia salah mengira karena saya memegang kotak itu begitu lama, tetapi tidak ada tanda-tanda hendak membayar. Apalagi dengan penampilan lusuh semacam ini, siapa pun bisa saja menaruh curiga kepada saya. Mereka mengira bahwa orang miskin seperti saya tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan hidup, sehingga harus mencuri dan berlindung di balik alasan kemiskinan dan kejamnya takdir.

Saya pun digiring menemui pemilik supermarket dengan dijaga petugas sekuritiDi sana, saya ditanyai beberapa waktu lamanya. Pemilik supermarket itu, seorang laki-laki bertubuh gempal dan berkumis lebat, bersikeras ingin melaporkan saya kepada polisi. Saya menyerah saja, Tuan. Apalah daya saya dibanding orang yang berpunya semacam dia?

Maka, di sinilah saya berada, Tuan. Semata karena dilaporkan telah mencuri di kedai, maksud saya, supermarket, milik seorang lelaki bertubuh gempal dan berkumis lebat.

Pegawai supermarket itu pastilah salah mengira, Tuan. Saya yakin itu.

Pemilik supermarket itu pastilah yakin bahwa pegawainya jujur dan bisa dipercaya, Tuan. Saya yakin itu.

Petugas sekuriti itu mungkin melihat saya atau tidak. Ia pasti hanya mematuhi perintah sang pemilik supermarket. Saya yakin itu.

Sekarang, terserah Tuan mau mempercayai pengaduan mereka atau pengakuan saya, yang sebenarnya karangan belaka.

“Apakah benar Saudara mencuri di supermarket Z tadi sore? Jawab dengan jujur!”

Apakah Tuan ingin saya menjawab dengan jujur?

Baiklah, jika benar itu yang Tuan inginkan.

“Ya, Tuan. Memang benar saya mencuri di supermarket itu tadi sore. Saya ingin membawa susu itu pulang tanpa harus membayar, tetapi kotaknya terlalu besar untuk disembunyikan di balik baju saya.”

Demikianlah yang sebenarnya terjadi, Tuan, dan saya tidak akan membela diri.

fin

Author’s note:

  • Inspirasinya tiba-tiba muncul setelah menonton Aoi Bungaku Series (memang tidak ada hubungannya, sih).
  • Terima kasih banyak kepada Kak Fika yang sudah bersedia menjadi beta-reader untuk cerita ini :).

10 thoughts on “Saya Tidak Akan Membela Diri

  1. fikeey says:

    waaaaa ada namakuuuu :3 sama-sama amiiii, semoga membantu yaaah ehe.

    btw … AOI BUNGAKU SERIES!! aku inget waktu itu jungkir balik nyariin animenya soalnya baca di rekomen myanimelist kaan, ratingnya agak tinggi, terus pas baca di wikipedia kayaknya tuh seru ngunuuu ahaha. mana temen-temen aku kebetulan ngga ada yang punya heu :”( (sek ini kenapa aku malah ngelantur haha maafkeuun).

    anw aku suka mi ceritanya. pas waktu itu pertama kali baca, aku tuh yang: argggh! sebenernya ceritanya sederhana but kamu ngeksplor pergolakan batin si tokoh bagus bangettt. aku kira dia maling beneran yang kaya udah ketangkep basah ngunu. eh taunyaaaa :(( huhu aku ga tega yang pas tokohnya ngeliatin harga susuu huhuhuhu sedih ah. mana pas di akhir dia tuh yang kaya: yaudah deh pak terserah sampeyan nih saya ngaku ._. aku kadang suka gimana gitu mi abisan. sementara di luar sana kesusahan nyari-nyari susu buat anaknya, masih ada aja yang buang-buang harta buat keperluan yang ga perlu-perlu amat ih ._. heu. yeokshi amii aku sukaa ceritanyaaa ehe. keep writing yah miii! 😀

    Liked by 1 person

    • aminocte says:

      Halo Kak Fikaa..iya, aku jadi lebih ngeh soal kata-kata baku, trus elipsis juga :D. Aoi Bungaku Series aku udah lama nonton, tapi mentok di episode 4, eh baru kesampaian nonton lanjutannya bulan ini..hahaha XD.

      Aku setuju sama pendapat Kak Fika, semoga jadi pengingat juga biar nggak buang-buang harta untuk yang nggak perlu. Makasih Kak atas komennya yang panjang, aku suka sekalii ❤ Keep writing juga, Kak!

      Like

  2. anonimjeon says:

    Hai? wah aku bacanya antara pengen ngakak-eh-ngga jadi karna kasien-dan begitu seterusnya..
    ni orang berkelit banget ya emang.. tapi lucu sih, aku bisa nyimpulin kalo ini genrenya komedi wkwkwk:3
    tulisannya simpel,kusukaa<3 salam kenal Kak^^

    Liked by 1 person

  3. aurora says:

    halo… kak ami? aisya dari garis 00 di sini x))

    ughhh sumpah baca ini nih maksa banget buat netesin air mata :”” suka banget sama cara kak ami menyampaikan cerita si ‘saya’ ini dan ughhh gatega sama kisahnya dia, mulai dari yang dia putus sekolah, terus nikah sama cewek yang udah digauli orang, terus anaknya yang terpaksa minum susu kental manis ((!!!)) sampe yg pas dia di supermarket ngeliat macem2 susu tuh yang kek?? ya Allah?? begini ya orang kurang mampu pas masuk supermarket mahal?? terus kesel juga akunya sama si pegawai supermarket, segitunya banget lha mbak :””

    tapi di akhirannya tuh demi apa pun, jawabannya si ‘saya’ twist banget! ya gustiiii bapake ini pasrah banget tapi kalimatnya itu loh xD

    nice fic kak ami, keep writing ya ❤

    Like

    • aminocte says:

      Halo, Aisya, salam kenal yaa. Terima kasih sudah mampir, mudah-mudahan ceritanya bermanfaat :). Aku pas bikinnya juga berasa nggak tega (ketahuan baper). Senang baca komentarmu ❤ keep writing juga yaa

      Like

  4. slovesw says:

    Halo kak Ami! Haha, udah lama bangeeet ga baca tulisannya kak Ami kangen x))

    Aku sedih kak waktu baca ini. Ironis…. Terus mau peluk bapaknya (?) karena ya, ya hidupnya gitu banget kasian gitu. Perjuangan buat beli susu aja sampe gitu … terus jadi ngaca juga sih (sumpah ya suka banget sama tulisannya kak Ami, jadi bahan refleksi banget! Dulu yang ttg martabak juga kaaan) biar jangan mubadzirin apa aja … Itu nyari duit juga pake perjuangan kaaan :”

    Terus dialog terakhir bapaknya … Kak beneran aku harus menteleng buat mastiin, aku kaget pokoknyaa! Hahahaha.

    Keep writing kak Ami! Suka bangeet ehehe❤

    Like

  5. O Ranges says:

    aduh kaami, ini ketje banget. apalagi penulisan dan konflik yang dialami tokoh Saya uwaaahhhh x)

    pertama kali baca tuh pikiran titan udah kemana-mana, wah ini bakal jadi seperti ini kah ceritanya? atau jadi seperti itu? but then I reach the end of story, and surprise surprise! it took me off guard! titan ngucek mata dua kali buat mastiin eh, ini aku ngga salah baca kan? eh kalimatnya masih sama. EH EEEEHHHHHHH yha begitulah :”

    uwuu, kudos buat kaami ❤ ❤

    Liked by 1 person

Leave a comment