Balada Si Gemuk

by aminocte

(mini event: truk pantura)

Pulang malu, tak pulang rindu

Hampir tidak ada yang tahu nama aslinya, tetapi orang-orang mengenalnya dengan nama Si Gemuk.

Si Gemuk adalah lelaki yang tak lagi muda tetapi juga belum terlalu tua. Pertengahan mungkin, tetapi belum paruh baya. Tak banyak orang yang tahu umur aslinya, tetapi kemungkinan besar umurnya 40 tahun lebih sedikit. Tubuhnya tegap, gemuk, dan kuat. Sehari-hari ia berprofesi sebagai preman. Itupun kalau preman bisa disebut profesi.

Seluruh lahan parkir di kota kecil ini adalah kepunyaan Si Gemuk. Siapa pun yang hendak mencari nafkah di lahan-lahan itu, resmi atau tak resmi, baru atau lama, beralas beton, aspal atau paving block, harus atas sepengetahuannya. Jika tidak, ia bisa mengakhiri usaha siapa pun dalam jentikan jari saja.

Si Gemuk hidup seperti tokoh legenda. Orang-orang membicarakannya dari mulut ke mulut, kebanyakan pedagang pasar, tak jarang juga supir kendaraan umum. Si Gemuk begini, Si Gemuk begitu, kata mereka. Tak jelas dan tak bisa sepenuhnya dipertanggungjawabkan. Namun yang pasti, tak ada yang berani cari gara-gara dengan Si Gemuk, kecuali mereka yang nekat dan kurang perhitungan atau yang merasa berani dan telah memperhitungkan semuanya. Biasanya mereka akan babak belur oleh geng Si Gemuk, tetapi tidak ada yang sampai meregang nyawa karenanya.

Tersiar kabar yang bikin seantero kota ini gempar. Semalam, Si Gemuk mengamuk di depan sebuah pub yang letaknya jauh dari pusat kota. Tidak jelas penyebabnya. Kabarnya, Si Gemuk marah karena lahannya dikuasai oleh orang lain, tepatnya geng preman setempat. Si Gemuk tak peduli dengan pub beserta segala kenikmatan dunia di dalamnya. Ia hanya ingin menggenapkan kekuasaannya di seluruh lahan parkir di kota ini. Namun, geng preman itu tak mau kalah. Terjadi pertengkaran yang disusul perkelahian. Di pihak mereka ada dua orang, sedangkan Si Gemuk hanya sendiri. Masing-masing pihak membawa senjata tajam dan bernafsu ingin mengalahkan pihak lawan. Ketiganya saling menyerang dan mengelak hingga dua orang tumbang dengan luka menganga di leher mereka. Saat orang ketiga di tempat itu hendak lari, sirene mobil polisi telanjur memekakkan telinga.

Orang yang selamat itu adalah Si Gemuk.

Si Gemuk digelandang untuk dimintai keterangan. Dua orang lainnya keburu tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Tempat kejadian perkara dipasangi garis polisi. Posisi kedua korban ditandai dengan gambar kapur yang bersisian. Pub itu mendadak populer oleh insiden yang tak menyenangkan. Selama beberapa hari polisi mengumpulkan bukti. Para saksi ikut ditanyai satu per satu. Jawaban mereka serupa, Si Gemuk yang mulai, Si Gemuk yang menyerang duluan. Kata mereka, Si Gemuk datang ke tempat itu seorang diri bagaikan Rambo, berteriak-teriak dan memaki-maki hingga menyulut emosi pihak lawan. Lalu terjadilah apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu.

Lama setelah itu barulah terdengar kabar bahwa Si Gemuk harus mendekam di penjara seumur hidup.

Di penjara, orang-orang segan dan takut dengan Si Gemuk. Ada maling yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara, takut dengan suara Si Gemuk yang menggelegar. Ada pula perampok yang sukses menggasak uang di brankas hingga milyaran, segan dengan Si Gemuk yang omsetnya meliputi seantero kota. Lain halnya dengan remaja ingusan yang sok jagoan dengan membunuh dan membakar salah seorang gurunya, merasa tak berdaya di hadapan Si Gemuk yang memang jagoan.

Si Gemuk sendiri menganggap semuanya bak angin lalu. Dia tak merasa dielu-elukan sama sekali. Baginya, rasa segan dan takut dari orang-orang itu tak memberikan pengaruh apa pun. Yang ia pikirkan justru istri dan dua anak perempuannya yang masih berseragam putih-merah. Entah apa yang mereka rasakan saat tahu Si Gemuk membunuh orang. Sosok suami sekaligus kepala keluarga itu mendadak pergi, tak bisa lagi melanjutkan tugasnya. Insiden itu telah mencerabut keberadaan Si Gemuk secara paksa dari keluarganya, membuat semua hal yang tak pernah berjalan sempurna menjadi semakin kacau.

Dengar-dengar istri Si Gemuk dan dua anak perempuannya itu pindah ke tempat lain, berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari kota kecil ini. Mereka mungkin tak sanggup menanggung malu. Sang istri mungkin tak kuat mendengar gunjingan tetangga dan omongan masyarakat yang tak bisa diredam. Sementara kedua anaknya terlalu belia untuk mencuri dengar gosip yang beredar di kalangan kawan-kawannya, sesama pelajar SD. Wajah mereka memang polos selayaknya bocah berseragam putih-merah. Namun dari mulut mereka, keluar kata-kata berbisa yang mampu merontokkan mental orang. Dari siapa lagi anak-anak itu tahu jika bukan dari omongan orang tua mereka yang tak kenal sensor? Alangkah malang anak-anak Si Gemuk jika benar itu yang terjadi.

Yang jelas, Si Gemuk adalah satu-satunya tahanan yang tak pernah dikunjungi keluarga. Jangankan rantang nasi, sepucuk surat pun tak ada. Seminggu dua minggu, Si Gemuk masih bisa tahan. Sebulan dua bulan, Si Gemuk menangis diam-diam. Setelah setahun, barulah Si Gemuk terbiasa. Ia rindu, teramat rindu, tetapi juga merasa tak pantas untuk bertemu dengan keluarganya yang telah dibuatnya susah.

Ah, apalah arti kerinduannya jika membuat anak istrinya kepalang malu. Arang telah tercoreng di dahi orang-orang yang ia sayangi karena ulahnya. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menerima konsekuensi perbuatannya.

Tak lama kemudian, tersiar lagi kabar di seantero kota. Beberapa orang berhasil membobol penjara dan melarikan diri. Mungkin mereka tak tahan dengan pengapnya udara penjara. Mungkin mereka rindu keluarga. Namun, mungkin juga mereka menginginkan kebebasan untuk kembali berbuat sesukanya. Menjadi pelayan nafsu untuk merebut hak orang lain, mengganggu ketentraman masyarakat, merusak generasi muda. Di penjara tak ada orang baik yang bisa dikecoh. Oh, masih ada sebenarnya. Siapa lagi kalau bukan sipir-sipir yang lalai, yang katanya kekenyangan oleh sogokan itu.

Si Gemuk menjadi salah satu dari segelintir orang yang tak ikut serta dalam pelarian itu. Malam sebelumnya, ia dibujuk-bujuk dengan alasan keluarga. Si Gemuk mengedikkan bahu. Entah berada di mana keluarganya sekarang, ia tak tahu. Memangnya ke mana ia harus pulang? Biar saja penjara ini jadi rumahnya sekalian.

Si Gemuk memang bukan orang alim yang dipenjara karena mengkritik kekuasaan. Kitab tafsir mungkin tak akan pernah dihasilkannya. Dia juga bukan pemimpin revolusi yang ingin perubahan. Pemikiran-pemikirannya mungkin tak akan diikuti oleh pengikutnya yang setia. Dia bukan pula orang miskin yang budiman, yang masuk penjara gara-gara tipu daya orang kaya. Akhir kisah Sengsara Membawa Nikmat1 mungkin terlalu muluk baginya.

Si Gemuk pun bukan lagi Si Gemuk yang dulu, yang keras dan beringas. Jika saja bukan karena masa hukumannya yang belum selesai, Si Gemuk sudah dapat diterima masyarakat dengan kelakuannya yang sekarang. Ibadahnya rajin, tutur katanya santun. Ia menjadi teladan di penjara itu, menjadi contoh nyata tentang bagaimana seharusnya menyikapi hukuman atas kesalahan. Jika dulu orang takut dan segan karena watak kerasnya, kini mereka segan kepada Si Gemuk yang sibuk meniti langkah menuju surga. Rasa-rasanya, penjara itu tak lagi pantas untuknya.

Namun, masa hukuman Si Gemuk masih lama. Masih tiga puluh tahun lagi. Kendati demikian, di sela-sela waktunya, ia senantiasa berdoa agar keluarganya baik-baik saja. Biar saja ia yang menahan rindu di sini seorang diri, jika dengan itu keluarganya dapat merasakan kebahagiaan. Ia ikhlas. Benar-benar ikhlas.

fin

Catatan kaki:

1 Novel karangan Tulis St. Sati yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1929. Mengisahkan kehidupan Midun yang selalu sengsara karena ulah Kacak, anak pemuka desa yang iri kepadanya. Karena tipu daya Kacak, Midun harus mendekam di penjara, tetapi nasibnya berangsur membaik setelah masa hukumannya selesai. Dia berkesempatan untuk bekerja sebagai juru tulis dan jabatannya terus naik setelah itu.


Catatan penulis:

  • Big thanks to Kak Fika atas masukannya yang sangat berharga untuk cerita ini.
  • Maaf kalau masih ada jejak-jejak webe di sini.
  • Makasih sudah membaca 🙂

7 thoughts on “Balada Si Gemuk

  1. Kudou says:

    Ini full narasi tapi seru benjet alamak. Aku ikutan trharu sama si Gemuk ini, hmm :^
    Ah spicles pokoknya.. smoga jejak2 webenya segera hilaang 😀

    Like

  2. dhamalashobita says:

    Ini rapi, meskipun kisahnya narasi aja tapi tetap nggak bikin bosen. Aku suka interpretasi dari temanya. Ami mengambil sudut pandang lain yang jarang dilihat orang tentang profesi preman itu.
    Semoga jejak webenya hilang ya, Mi. Biar nulis lagi yang banyak! 😊

    Like

    • aminocte says:

      Makasih Kak Mala 🙂 syukurlah nggak ngebosenin huhu aku masih harus banyak belajar ah pokoknya. Yosh semangaat. Kak Mala juga semangat nulis yaa

      Like

  3. shiana says:

    Kak amiiii. Sudah lama tida mampir ke lapak kakak. Setuju sama kak mala! Narasinya nggak bosenin sama sekali, ceritanya tetep ngalir. Yeokshi kak ami tulisannya selalu sarat akan amanat :'”) semoga webenya cepat minggat kak. Semangat!! ❤

    Like

  4. Keii says:

    Aku mendadak membayangkan preman-preman pasar yang sering kulihat di sekitar rumahku. Fiksi ini membahas sisi berbeda dari orang yang biasanya menjadi antagonis di fiksi lain; tipe-tipe fiksi yang kusukai, sebenarnya. Dikemas dengan apik, runut, dan kelihatannya penuh kehati-hatian. Pemilihan diksinya pas, gak terlalu berlebihan untuk cerita dengan tema seperti ini. Eksekusi finalnya juga oke, realistis dan gak muluk. As expected from Ami!
    Nyun.

    Like

Leave a comment