Transdermal

credit pic here

by Cheery

.

Sebelas tahun mengenalnya membuatku mau tak mau jadi terbiasa dengan jalan pikirannya yang sedikit nyentrik.

.

Insiden Arthes dan inhaler yang ia semprotkan di leher sungguh-sungguh menyadarkanku akan pentingnya konseling bagi pasien. Setelah peristiwa itu, aku jadi menaruh atensi lebih ketika menyampaikan informasi dan memastikan mereka tahu benar tentang obat yang mereka terima serta cara penggunaannya.

“Kalau menggunakakan tetes mata untuk anak-anak, bisa dengan posisi berbaring saja. Mata terpejam kemudian diteteskan di ujung mata dekat pangkal hidung, seperti ini,” paparku sambil memeragakan.

“Oh, bisa begitu, ya, ternyata? Anak saya langsung merem kalau saya tetesi, jadi obatnya banyak yang tidak masuk,” keluh ibu muda di hadapanku.

Kubalas dengan senyum dan melanjutkan, “Usahakan jangan memejamkan mata terlalu rapat atau sering berkedip. Lalu untuk tetesan kedua ditunggu lima menit setelah yang pertama, ya, Bu.”

Si ibu menganggut mantap dan mengucap terima kasih. Aku juga sangat berterima kasih pada mereka yang menyempatkan untuk mendengar penjelasanku. Tidak seperti seseorang beberapa waktu lalu.

“Oi!” Ah, panjang umur.

Arthes menyapaku dengan cengiran lebar hingga menampakkan gusinya. Aku balas melambaikan tangan padanya. Dia memang bilang akan mampir sore ini untuk membeli vitamin dan ingin menanyakan sesuatu.

Setelah kuserahkan vitamin yang biasa ia beli, langsung kutanyai ia perihal sesuatu yang mengganggunya, “Mau tanya apa?”

“Jadi begini, minggu lalu kakekku kontrol ke poli jantung dan kurasa sejak saat itu nyeri dadanya sering kambuh,” kesahnya disertai raut prihatin.

“Obatnya sudah diminum?” tanyaku mencoba mengorek akar masalah.

“Nah, itu masalahnya,” ia menjentikkan jari tepat di depan hidungku. “Kakekku diberi plester alih-alih tablet yang biasanya.”

“Plester?”

“Iya, yang seperti untuk pegal linu. Tabletnya hanya diberi yang untuk di bawah lidah,” lanjutnya. Aku mulai mengendus sesuatu yang tidak beres.

“Oh, yang itu. Sudah dipakai?”

“Sudah, kok,” ia mengangguk yakin. “Apa plesternya tidak manjur, ya?”

“Kau ini gemar sekali mengambinghitamkan obat.”

“Habisnya aku kasihan pada Kakek. Sebelum ini jarang kambuh,” mimiknya jadi semakin muram.

“Memang plesternya kau tempel di mana?” todongku langsung. Masalah sediaan transdermal[1] hampir sama mainstream-nya seperti menelan suppositoria.

“Di pinggang, lah!” Level kepercayaan diri Arthes memang patut diacungi jempol.

Benar, ‘kan? Sebelas tahun mengenalnya membuatku mau tak mau jadi terbiasa dengan jalan pikirannya yang sedikit nyentrik.

“Nah, itu masalahnya,” aku balas menjentikkan jari. “Tempat menempelmu kurang tepat. Harusnya tempel di dada,” aku memberinya pencerahan.

“Eh? Begitu, ya? Awalnya malah akan kutempel di kening, tapi nanti dikira sedang demam.”

Aku hanya bisa tersenyum sambil menghela napas panjang, mencoba memaklumi manusia unik di hadapanku ini.

 

.

Fin.

 

 

[1] Sediaan yang digunakan pada permukaan kulit, dapat berupa salep, gel, atau patch.

6 thoughts on “Transdermal

  1. LDS says:

    Pantes kok kyk pernah baca ceritanya si arthes ini somewhere eh ternyata cerita yg inhaler jadi parfum/? Itu ya hahaha baru inget
    Ini ada lagi cerita transdermal patch jadi kyk s*lonpas
    Bikin lagi cerita si nyentrik arthes hehe
    Keep writing!

    Like

  2. Fafa Sasazaki says:

    Kok geme gmn gitu ya sama Arthes. Eh,,

    Arthes golongan darahnya apa? AB? Ga heran kalo dia AB trus punya sudut pandang ga biasa kaya orang umumnya. Khekhe,, soalnya aku juga sering gitu.

    Like

Leave a comment